[caption id="attachment_181661" align="alignleft" width="301" caption="Dok. My beloved son and wife"][/caption] Hari Jum’at (8/6) pagi saya berkunjungke sekolahanak diSDIT untuk keperluan menyelesaikan pembayaran terkait administrasi sekolah sehubungan dengan akan berakhirnya Tahun Ajaran 2011/2012. Setelah urusan clear, saya disapa oleh seorang guru muda yang ternyata wali kelas dari anak saya. Namanya Bu Umi.
“ Maaf, pak. Ada yang mau saya konfirmasikan terkait dengan data Ikhwan,’ ujarnya ramah.
“ O, ya. Memangnya ada yang salah, bu?” Tanya saya agak heran.” Ini pasti terkait formulir isian data siswa yang saya tulis beberapa hari lalu.” Tebak saya dalam hati.
“ Bukan salah, pak. Melainkan ada data kurang lengkap dan belum terisi,” jelas bu Umi meluruskan persepsi yang saya bangun.
“ Kalau boleh tahu data apa ya, bu?”
“ Itu lho, pak. Tanggal lahir Ikhwan. Masih kosong.” Sahut bu Umi menjelaskan. “ Karena data harus dikirim sesegera mungkin dan mumpung bapak kemari, maka saya tanyakan ,” lanjutnya sambil memberikan formulir yang berisi data anak saya.
Benar saja. Ketika saya cek ternyata kolomnya masih kosong. My God! Seketika saya baru tersadar kolom itu tidak terisi lantaransaya benar-benar “tidak ingat” tanggal berapa anak saya Ikhwan dilahirkan. Akhirnya sambil menahan malu dengan berbasa-basi saya katakan akan tanya istri dulu lalu secepatnya memberitahu sekolah via sms atau telepon.
Di perjalanan pulang menuju rumah, saya jadi merenung betapa terkadang kita, -baca : Kaum bapak,sering melalaikanhal-hal kecil yang dianggap sepele tetapisejatinya memiliki nilai yang tinggi. Betapa tidak, mengingattanggal lahir anak. Itu tentu tidak sebanding dengan rutinitas kerja yang kita lakukan sehari-hari.Apalagi kalau dikaitkan dengan beratnya tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup, jelas tidak berimbang. Tapi ketika satu waktu anak kita bertanya,” Abi, saya lahir tanggal berapa, ya ? Dan kita cuma bisa mesem sambil pura-pura sibuk atau mengalihkan topil perbincangan, mau tidak mau akan membuat anak berfikir kalau kita termasuk orang tua yang cuek. Seetidaknya dalam hati boleh jadi dia nyeletuk,” Ini orang tua kebangetan, deh. Masa Tanggal lahir anaknya saja bisa lupa,”.
Dari anak pikiran saya terus mengembara. Kali ini saya teringat satu ketika pernah membaca sebuah tulisan dari Koran bekas. Tulisan tersebut bercerita tentang satu kota di Jerman, sayang saya lupa nama kotanya,yang membangun taman specialuntuk para suami menunggu istri yang sedang belanja. Menurut pemerintah kota, tamanitu didirikan dengan maksud agar suami merasa nyaman dan tidak bosan karena kelamaan menunggu sang istri belanja. Saat itu saya kaget bukan alang kepalang.Kok bisa samaya ? Rupanya baik di Indonesia atau di Jerman ternyata tidak sedikit kaum bapak yang sebenarnya “emoh” disuruh nemanin istri belanja tapi karena berbagai alasan,diantaranya motif ekonomi akhirnya jadi dipaksa-paksain.
Selanjutnya ingatansaya berpindah lagi. Kali ini saya teringatsaat kongkow dengan teman-teman yang kesemuanya sudah berkeluarga. Ketika itu ada teman yang curhat. Diabercerita tentang kekesalannyamenghadapiistri yang lagi sakit. Ketika ditanya mengapa dia menjelaskan karena istrinya terlalu manja dan selalu minta dipijit. Lucunya ketika diminta tanggapan tidak satupun yang bisa berkomentar. Selidik punya selidik rupa-rupanya semuakami punya pengalaman yang sama danberpendapat serupa.
Namun anehnya, kalau yang sakit kebetulan adalah para suami,makaistri harus merawat dan memperhatikannya dengan baik. Nah, lho ? Kok bisa ???...
Dari tiga poin di atas saya berkesimpulan ternyata mayoritas pria itu, maaf : memiliki kecenderungan ego yang tinggi. Meskipun tidak menafikan keberadaan pria yang elegan dan respect terhadap wanita. Akan tetapi pada poin-poin tertentu rasa ego tersebut akan muncul dimanakecenderunganminta dilayani dan kurang bertanggung-jawab terasa mendominasi. Padahal kita tahu dalam urusan keluarga, tanggung-jawab antara ibu dan bapak nyaris tidak bisa dipilah-pilah. Termasuk dalammengurus rumah dan mendidik anak.
Oleh karena itu bagi saya, anda atau siapa sajayang membaca tulisan ini pertama saya ingin katakan bahwa saya tidak bertujuan untuk mendiskreditkansalah satu gender. Tulisan ini hanya sebatas auto kritik untuk kita kaum bapak untuk bisa lebih care dalam urusan rumah tangga yang mungkin selama ini kita anggap remeh-temeh. Sebab biar bagaimanapun juga dengan kesedian berbagi, orang-orang terdekat kita akan merasa nyaman dan terlindung berada dibawah kepemimpinan kita.
Akhirnya ketika peristiwa di sekolah tadi saya ceritakan ke istri saat tiba di rumah, dia hanya tersenyum danberkomentar. “ Abi..abi. Itu hidung kalau nggak nempel pasti deh kelupaan dimana letaknya,” Hiikkk… Jadi malu, Sudah dulu, ya. Semoga ada manfaatnya. Salam kompasiana. (**)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H