Menyimak tayangan Metro TVSelasa (6/3) pagi, ada yang menyentak perhatian saya. Dengan jelas Prabu Revolusi, presenter Metro, menyampaikan bahwa peringkat Indonesia hari itu telahnaik ke posisi puncak dari sebelumnya berada di peringkat ke tiga dalam bidang pornografi. Peringkat teratas tersebut diperoleh berdasarkan survey pengakses konten porno di dunia maya. Ironisnya sebagian besar mereka berasal dari kalangan remaja dan anak-anak.
Lepas dari valid tidak validnya informasi yang disampaikan karena presenter tersebut tidak menyebutkan sumber datanya, namun yang pasti sebagai bangsa beradab yang menjunjung normadan etika, terlebih sebagai orang timur, nurani saya merasa terusik dan miris mendengar berita tersebut. Setidaknya kita harus bertanya mengapa ini bisa terjadi ? Apakah bangsa yang besar ini memang sudah mengidap syindrom pornografi tahap akut ? Atau regulasinya yangmandul ? Sebab seperti yangkita ketahui, pemerintah dalam hal ini Kominfo, sudah menerapkan UU tentang pelarangan dan pemblokiran situs di dunia maya. Ancaman hukumannyapun cukup berat, 6 sampai 12 tahun penjara. Namun mendengarberita di atas kita harus mengakui dunia esek-esek ini ternyata masih digandrungi masyarakat . Celakanya sekarang malah merambah ke lingkungan remaja dan anak-anak.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh ahli bedah syaraf dari Rumah Sakit San Antonio, Amerika Serikat, Donald L Hilton Jr MD, menonton pornografi secara terus menerus bisa mengakibatkan kecanduan (adiksi), yang pada akhirnya mengakibatkan jaringan otak mengecil dan fungsinya terganggusampai kepada gangguan pada memori kerja otak.
Lebih jauh Donald menjelaskan adiksi ini juga akan mengakibatkan otak bagian tengah depan –disebut ventral tegmental area (VTA)– secara fisik mengecil.
Penyusutan jaringan otak yang memproduksi dopamine (bahan kimia pemicu rasa senang) itu, menurut dia menyebabkan kekacauan kerja neurotransmiter yakni zat kimia otak yang berfungsi sebagai pengirim pesan. Pornografi, tambahnya, menimbulkan perubahan konstan pada neorotransmiter dan melemahkanfungsikontrol.
“Ini yang membuat seseorang yang sudah kecanduan pornografi tidak bisa lagi mengontrol perilakunya,” tegas Hilton dalam seminar bertajuk damfak pornografi bagi kerusakan otak di Jakarta bebeapa waktu yang lalu.
Agaknya apa yang disampaikan oelh parar bedahsyarafdi atas semestinya menjadi warning bagi kita untuk lebih ketat mengawasi perkembangan putra-putri kita, baik di rumah, lingkungan sekitar maupun saat berada di sekolah. Termasuk mengamati perobahan perilaku anak yang tidak wajar seperti : pendiam, suka melamun, menyendiri, betah di kamar selama berjam-jam.
Jangan menunggu sampai anak lepas kendali. Segeralah berdialog dengan mereka. Selidiki problem apa yang sedang menimpanya. Dengan cara ini kita segera bisa mengetahui dan mencarikan solusi dari apa yang sedang mereka pikirkan.
Membekali anak dengan perangkat canggih elektronik seperti laptop dan modem untuk akses internetmemang tidak ada salahnya bahkan baik untuk menambah wawasan pengetahuan mereka sehingga tidak jadi remaja Gaptek. Namun jangan lupa memastikan mereka untuk tidak berbuat macam-macam dengan benda tersebut jugapenting.Dan kunci semuanya terletak pada komunikasi. Biasanya jika komunikasi antara orang tua dan anak terjalin harmonis, anak tentu akan lebih mudah diarahkan. Memberi pengertian kepada mereka tentang segala sesuatu itu ada proses dan waktunya seperti : Kapan harus sekolah, tidur, belajar termasuk menonton tayangan pornografi. Dengan bahasa yang lembut dan mudah dimengerti secara otomatis kesadaran akan terbangun di dalam diri mereka.
Dan kalau semuakomponen bangsa di negara inimau peduli terhadap bahaya pornografi terhadap masa depan remaja kita bukan mustahil peringkat pertama yang sekarang kita sandang akan bisa diubah. Setidaknya turun kelevel yang lebih rendah. Smoga. (**)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H