Saya punya seorang teman. Sebut saja namanya Pak Nas. Beliau seorang birokrat yang mengabdi kepada negara di salah satu instansi pemerintah. Pak Nas tipikal orang yang hyper kritis. Peristiwa apa saja selalu dikritisinya. Tak peduli dengan cara sembunyi atau terang-terangan. Kritik selalu dilontarkannya meski kadang-kadang sampai membuat telinga yang mendengar menjadi merah.
Dari sekian banyak kritik yang dilontarkannya, pemerintahlah yang kebagian porsi terbesar. Kebijakan pemerintah apapun bentuknya pasti tak luput dari cercaannya. Hebatnya lagi argumen yang dia bangun selalu disertai dengan perbandingan-perbandingan. Kalimat-kalimat seperti : Lihatlah negara Anu, contohlah negara itu, sangat memalukan dibanding dengan negara sana, selalu keluar dari mulutnya saat berdebat dengan orang yang kebetulan tidak sepaham dengan pendapatnya.
Satu ketika ada seorang anak muda menghadap pak Nas di kantornya untuk sebuah urusan yang memang menjadi wewenangnya. Entah bagaimana asal - mulanya anak muda tersebut tiba-tiba marah dan berkata :” Bapak ini bagaimana. Masa urusan begini saja mesti bertele-tele makan waktu yang lama. Padahal di kantor sana satu hari saja sudah bisa clear. ” Mendengar semprotan anak muda itu pak Nas balas membentak,” Kalau begitu urus saja ke kantor itu, mengapa harus datang kemari ! ” ujarnya dengan muka merah menahan marah.
Saya tidak tahu kelanjutannya tetapi ketika pak Nas menceritakan hal itu kepada saya didalam hati saya jadi geli sendiri. Betapa tidak, kebiasaannya mengkritik dan membanding-bandingkan orang lain seolah tak berlaku pada dirinya. Baru dibandingkan sedikit saja amarahnya sudah naik ke ubun-ubun.
Barangkali memang begitulah tabiat manusia. Kita terlalu mudah mendikte, menuding bahkan menyalahkan orang lain ketika melakukan sesuatu sementara ketika diri kita yang dicerca dan dikritik amarah kita menjadi meluap-luap. Kesalahan dan kejelekan orang lain selalu terlihat jelas dan menjadi sasaran empuk caci-maki kita sementara aib diri sendiri tidak boleh dibicarakan.
Buruk muka cermin dibelah. Begitu bunyi peribahasa yang kita baca di buku-buku pelajaran bahasa Indonesia. Maknanya ditujukan untuk seseorang yang tidak mampu melihat kenyataan dengan fikiran dan nurani yang jernih. Begitu pula peribahasa Kuman diseberang lautan tampak jelas, gajah di pelupuk mata tidak kelihatan. Artinya dialamatkan kepada orang yang pandaimelihat kesalahan orang lain sementara lupa aib diri sendiri yang boleh jadi lebih besar dan banyak dari orang yang digunjingkan.
Dua peribahasa di atas seakan mewanti-wanti kita agar lebih bijaksana menjaga lisan dari perkataanyang sia-sia. Sebab dari lisan yang out of control akan menyerang dan menyakiti hati orang lain. Dampaknya bisa dibawa sampai mati. Selain daripada itu, menyelaraskan antara kata dan perbuatan merupakan akhlak terpuji yang bisa mendatangkankedamaian dalam satu komunitas yang disebut bangsa dan negara. Jika seluruh lisan rakyat di negara ini tertata dengan baik, ditambah dengan satunya antara kata dan perbuatan, optimisme kita menuju negara besar, berwibawa dan berkeadilan rasanya bisa terwujud dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Sebaliknya, jika mayoritas rakyat kita memiliki watak seperti teman saya di atas, tentu persoalannya akan menjadi lebih rumit dan ruwet. Dan melihat beratnya persoalan yang melilit bangsa ini, kitalah yang bisa menilai diri sendiri apakah kita bagian dari solusi atau masuk ke kelompoknya pak Nas. Salam kebangsaan. ( **)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H