Mohon tunggu...
April Perlindungan
April Perlindungan Mohon Tunggu... -

lama menjadi buruh tani, buruh TI di Belitung, menebas rumput di kebun tebu, kerja bangunan, pengamen di kp Rambutan dan kernet angkot tegalega- soreang

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pengorbanan Pengamen Jalanan

15 Agustus 2010   17:56 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:00 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Langit Jakarta siang itu memanggang kepala. Teriakan para calo menambah bising suasana, setelah telinga ini hampir tuli oleh deru knalpot metro mini. Untuk pertama kalinya Aku baru benar-benar tahu, bahwa Jakarta begitu berisik. Dahaga menyerang tenggorokan, mulutku kering, tatapan ini pedih rasanya, belum terbiasa di terpa debu terminal Kampung Rambutan. Jika saja subuh tadi tidak kecopetan, saat ini mungkin saja mulutku basah menikmati sirup yang di suguhkan Paman, sayang ia tinggal di Kelapa Dua, butuh Rp 4000,- menuju rumahnya, jangankan sebesar itu, seratus perak pun aku tak punya.

Yang tersisa hanyalah baju yang melekat di badan, sepasang sepatu yang kupakai, barang berharga lainnya termasuk nomor telepon dan alamat rumah paman yang kusimpan di dalam tas, raib di gondol pencopet. “ hari ini benar-benar sial ! gumamku dalam hati.

Tak tahu dari mana arahnya tiba-tiba dua pengamen menghampiriku. “ Lu anak mana ? Tanya seseorang yag bertubuh ceking. Pertanyannya mengagetkanku. Mereka tampak lusuh , pria yang bertubuh sedang memegang kecrek, yang satunya bertubuh tinggi ceking, tampak kelelahan membawa gitar. “ Aku anak Garut “ jawabku singkat.” Oh anak baru, kijang nich ( kijang itu ternyata sebutan preman untuk orang baru yang artinya mangsa ) Ngapain lo di sini ? nyari kerja ? susul pria ceking. Aku tidak memberi jawaban, hanya menggelengkan kepala. “ Aku di copet subuh tadi, bingung tak tahu harus kemana”. Akhirnya aku berterus terang. “ Lo baru ke Jakarta ya…makanya hati-hati, tujuan Lo kemana ? besok gua antar, sekarang ikut gua saja kalo Lo ga cari mati di sini”. Pertanyannya di akhiri ajakan. “ Makasih Bang ! aku mau ke pamanku, dia tinggal di Kelapa Dua. Aku tak punya ongkos “. Aku semakin berterus terang. “Udah, besok gua antar, sekarang Lo ikut gua saja”. Kali ini, dia serius mengajaku.

Aku tak dapat menolak, langkahku mengikuti kaki mereka berdua. Sepanjang perjalanan kami berbincang. Pria yag bertubuh ceking ternyata bernama Mangasih Simatupang, atau biasa di panggil Amang. Sedangkan yang agak gemuk memiliki nama Agus Aritonang, dia ingin aku memanggil Bang Turey. Usia mereka 3 tahun lebih tua dariku. Aku di bawa jalan kaki selama ratusan meter melalui gang sempit, kemudian kami naik angkot jurusan Bambu Apus. Tiba di Bambu Apus, kami kembali berjalan kaki, melewati gang demi gang. “ inilah rumah saya”. Turey memberitahuku. “rumahnya sempit, kami bertiga masuk ke sebuah kamar, Nampak poster Iwan fals menempel di dinding, termasuk poster bertuliskan Iwan fals my Presiden.” Itulah presiden gua, Bang Iwan Fals “. Telunjuknya mengarah kepada poster yang kutatap. Aku hanya mengangguk sambil tersenyum. Hari itu, di tengah terik matahari…kuteguk 2 gelas vodka dengan sedikit terpaksa.” Sebagai tanda persahabatan”. Kata mereka.

Aku memang salah, seharusnya pulang ke kampong. Kepergianku ke Jakarta tak lain untuk menghindari rasa malu, karena sekolah mengeluarkan surat Drop Out dua minggu lalu. Hanya pamanku di Di depok tempat yang kutuju, tak dapat kubayangkan jika pulang ke rumah, orangtuaku marah jika mereka tahu aku sudah putus sekolah. Sialnya, tasku di copet di dalam bis ketika aku tertidur pulas. Uang, pakaian, ijazah SLTP, alamat rumah dan nomor telepon paman raib. Lebis sialnya, aku tak ingat alamat rumah dan nomor telpon pamanku. Padahal sebelumnya aku sempat nyaman tinggal di rumah kang Budi atau Rodi temanku di Bojong Asih Bandung. Meskipun pekerjaan menjadi kulii bangunan dan mengangkut barangkal dari sungai Citarum, setidaknya hidupku jauh dari tegang.

Meskipun mangasih sudah mengantarku ke komplek Kelapa Dua, namun rumah pamanku tak kami temukan. Kami pun sempat melaporkan pencopetan itu ke kantor polisi di terminal Kampung rambutan, namun tak ada tanggapan. Kuputuskan, untuk ikut ngamen dengan mereka, sambil mengumpulkan ongkos pulang ke kampungku di Cisewu, Garut.

Modal ngamen tidak hanya suara merdu dan mahir bermain gitar, namun keberanian. Hari pertamaku, adrenalin ini di uji melintas jalan tol Jagorawi. Terlambat sekian detik, tubuh ini bias di gilas oleh mobil dengan kecepatan tinggi. Selain itu, berlari mengejar bis, mengadu nasib dari belas kasih para penumpang, adalah keterampilan lain. Aku diajari memetik gitar oleh Amang, lagu wajib kami adalah Ujung Aspal Pondok gede nya Iwan Fals, Amang memainkan gitar, Turey memainkan kecrek, aku sendiri bertugas hanya bertepuk tangan ikuti irama gitar, sesekali berteriak membantu Turey dan Amang yang kelelahan bernyanyi di nada tinggi. Meskipun agak sumbang, namun mereka menghayati setiap syair, menyuarakan hidupnya yang getir. Dalam satu bis, kami rata-rata mendapat 4 ribu rupiah, habis di belikan rokok pengganjal perut. Untuk membeli minuman, kami mencari mangsa di gang-gang sempit, memalak pelajar kaya yang pulang malam. “ benar-benar menegangkan bagiku, memalak bukan kebiasaan”. Namun Turey menikmati pekerjaan itu dengan santai. “ duit malak buat minum, hasil ngamen buat makan saja”. Seloroh Turey.

Amang, pria ceking berambut keriting itu, ternyata awalnya orang baik-baik. Ia di usir keluarganya karena pindah agama. Seluruh keluarganya beragama Kristen, Amang masuk islam setelah ia lulus STM. Namun ia tak dapat melamar kerja, ijazahnya habis di bakar oleh ibunya. Tak rela anaknya masuk islam dan mengikuti sunatan masal. Aku kurang tahu latar belakang Turey, sepertinya ia tak mau menceritakan latar belakangnya padaku. Dia masih agak curiga, terutama dengan nama belakangku “ Perlindungan” sedangkan kelahiranku di tanah priangan, bukan batak. “ Perlindungan bukan Parlindungan”. Amang sering menjelaska mengenai namaku yang bertolak belakang dengan tempatku lahir.

Amang tak bias lagi pulang ke rumah keluarganya, sedangkan rumah Turey sempit, ibunya pun sering marah-marah. Usai ngamen, aku mengikuti Amang, tidur di emperan, mushola dan tempat teman-temannya yang di anggap nyaman.

Suatu malam gerimis membasahi hutan-hutan beton, aku dan Amang tidur di mushola. Berselimut karpet menghindari gigitan nyamuk Amang menyampaikan sesuatu padaku. Ia mengatakan akan mengantraku pulang esok hari, malam itu kami menyusun rencana terburuk, jika ongkos tak mencukupi.

Dia berjalan menawarkan jaketnya kepada orang-orang yang dikenalnya. Orang yang ke sepuluh baru bersedia membayar jaket itu seharga Rp 15.000. uang sejumlah itu hanya cukup untuk ongkos berdua ke Bandung.

Esok paginya kami berangkat ke terminal rambutan, naik bus Patriot jurusan Leuwi Panjang, Bandung. Bus dengan ongkos termurah saat itu. Kami tak di pungut ongkkos karena mengaku sebagai pengamen. Kuyakinkan juga pada Amang, bahwa di Bandung semuanya tanggung jawabku.Tiga minggu menapaki ketegangan Jakarta, membuatku sesak. Ketika kaki ini menginjak tanah priangan, rasanya seperti bebas dari jam mata pelajaran matematika. PLONG ! kami Langsung mencari angkutan jurusan Pangalengan. Namun ongkos hanya cukup sampai di kecamatan Talegong. Setibanya di talegong kami berdua duduk termenung, Amang Nampak kelaparan, uang sama sekali ludes tak tersisa. Ini mungkin ke-ajaiban, tiba-tiba kawan SMPKU- Candra Setiawan ( Fosil ) terlihat melintas memakai sepeda motor, dia berhenti menyapaku. Mungkin dia iba melihat kondisi kami berdua, tanpa di minta ia memberiku uang Rp.5000,-“ buat rokok”. Ujarnya. Ia menyesal tak bias mengantarku pulang, karena motornya tak kuat membonceng dua orang. Uang itu kami belikan Rokok, setelah sharian hamper puasa rokok. Djarum Coklat dan kopi hitam terasa segar di tenggorokan, kami menunggu truk, yang rela menjadi tumpangan gratis. ( setiap deru mesin kendaraan saat itu bagi kami adalah harapan )

Harapan itu datang, setelah sekian jam menanti….tiba di rumah aku hamper menangis…..jika saja rasa lapar dapat kutahan.

Akhirnya, Ikan peda, sambal cabe,daun singkong rebus kami kunyah dengan lahap….nikmatnya lebih dari makanan apapun….dan mungkin nikmat waktu itu….tak akan terasa lagi. Sekalipun ketika buka puasa di bulan suci.

Kampung Rambutan, Jakarta, 2001.

Di dedikasikan untuk Mangasih Simatupang ( Amang ), Agus Aritonang ( Turey ), Candra Setiawan ( Fosil ). Terima kasih untuk ketulusan kalian…….

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun