“Abah Belanja Dulu ke Bandung, Kamu tungguin saja orang yang kuli panen Kentang. Sekaligus urus ongok ( pakan sapi ) subuh nanti”. Kata Abah, memberi mandat padaku, sebelum dia belanja obat untuk tanaman bawang.
Seharian aku duduk di kebun abah menjalankan mandat, mengawasi para kuli kentang, ada ibu-ibu, kakek-kakek dan perawan. Sepatu Bot dan balutan kemeja yg sengaja di setrika agak rapi, membuatku agak pede memicingkan mata kepada kuli-kuli perawan itu. Asap cigarette dji sam-soe tak henti mengepul , menambah rasa percaya diri yang selama ini “krisis”.
Menjelang sore, segerombolan orang datang membawa karung, dengan alat mirip kait yang khas. Mereka mengorek-ngorek tanah bekas galian para kuli kentang. Ternyata ada 10-15 umbi yang tersisa dari satu barisan. “ sedang apa mereka ? tanyaku kepada salah satu kuli.” Orang sini menyebutnya “ngasag”, alias mencari sisa ubi”. Jawab Kang Ade. Aku pun mengangguk tanda mengerti, sembari mataku tak henti menyaksikan mereka , gerombolan ngasag yang berebut sisa galian panen.
Dalam hembusan angin gunung menusuk tulang, diantara kabut tipis membasahi rambut. Teringat syair lagu mukti-mukti, mencari Ubi “ haruskah aku pergi bersama mereka, mencari sisa ubi yang tak bertangkai…atau aku pergi bersama mentari…jauh…jauh tak bertepi…” lagu itu terngiang dalam telinga..menerawangi rongga-ronga pikiran.
Ke esokan harinya, kukasih tau para kuli…agar kentang yang kecil-kecil jangan di ambil ( maksudku agar gerombolan pe-ngasag tadi kebagian jatah banyak ) “ itu perintah abah” kataku. Para kuli menurut saja, dan mereka pun menyelesaikan panen dengan waktu yang cepat. Benar saja, par pe-ngasag itu mendapat hasil lumayan…
Dan ketika Abah Pulang…esok harinya ia mengawasi para kuli, “ hari ini hasilnya banyak ya.. di banding kemarin ? “ Tanya dia sembari matanya tak henti memandangku”. "Ga tau aku Bah ! hari ini kiloannya banyak karena malam tadi hujan”. Aku berkilah. Dia hanya manggut-manggut dan tersenyum puas, namun senyumnya itu berimbas kepada para pe-ngasag yang pulang dengan wajah agak kecewa….
jadi juragan memang menyenangkan, namun hati ini tak dapat memungkiri. Melihat wajah-wajah para pengasag. Karena aku adalah mereka.
Gunung Wayang Bandung, 2008.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H