Suara merdunya saat bernyanyi menghampiri telingaku. Matanya yang teduh menyentuh atmaku. Aku memejamkan manik cokelatku.
Aku jadi teringat saat pertunjukan malam hari di musim pancaroba Oktober lalu. Hal-hal sederhana, semacam menyelipkan anak rambut yang menghalangi wajahku ke daun telinga saat aku ingin makan. Atau memberikan semangat saat pertunjukan akan dimulai. Benar-benar menyentuh hatiku.Â
Pernah di suatu malam saat pertama kali aku menyaksikan sekumpulan anai-anai cantik, berukuran cukup besar yang dari kejauhan nampak seperti kupu-kupu yang berterbangan. Seseorang itu, ia, menghampiriku. Memberikanku jaket, biar tidak kedinginan katanya. Agh, aku terlalu lama tidak mendapatkan perlakuan semanis itu sampai senyum-senyum sendiri dibuatnya. Lain hari setelah mengunjungi galeri seni bersamanya, sesaat sebelum malam tiba, kata-kata ingin bersama itu terucap dariku dan dari dirinya. Manis sekali.
Aku membuka mataku. Menatap lekat wajahnya. Rambutnya bergerak mengikuti arah angin. Langit biru mulai menghitam, pertanda hujan akan segera datang. Genggamannya padaku yang tadinya erat mulai melemah. Matanya perlahan sayu. Senyumnya mulai datar. Rintik hujan jatuh ke batang hidungku. Aku mulai takut. Aku takut hujan. Aku takut saat hujan sendirian. Ia perlahan melepaskan genggamannya. Benar-benar melepaskannya. Aku semakin takut. Hampir menggila. Aku pengidap ombrophobia.Â
Hujan jatuh membasahi kota, dan ia tak tahu rimbanya. Aku semakin menggila. Menggumam yang entah apa. Airmata tumpah ruah, pipi pun kian basah. Suara gemuruh hujan membuatku sesak. Aku menutup telingaku rapat-rapat. Aku ingin pulang ke rumah. Tetapi kemana? Ia bukan rumahku. Ia tidak benar-benar mengizinkanku untuk tinggal lebih lama. Sebab barangkali bagi dirinya aku hanyalah petandang, yang butuh tempat untuk sekedar singgah.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H