And ...
Aroma anyir angin di tepi pantai adalah saksi, saksi diammu di dalam beribu keinginan yang bergerak liar bersama asumsi yang juga tak kalah liar. Kerinduan, keinginan, dugaan, dan pertemuan, begumul riuh di senja itu, senja yang dipenuhi lampu-lampu kota yang romantis, obor-obor yang menjilat ganas, dan lagu-lagu yang keluar dari para penyenandung yang lesu, mungkin jiwa mereka kering segingga lagu yang mereka nyanyikan sama sekali tak kudengar merdu. Ataukah sebenarnya merdu? Namun menjadi tak merdu karena aku terpaku pada keberadaan dan wajahmu yang ternyata dan tak kuduga begitu dekat, mungkin hanya beberapa inch angin laut yang membawa aroma anyir itu memisahkan kita.
And ...
Kau tampak berdiri kaku, memandang entah apa yang kau pandang, aku tak menemukan apapun tujuan dari pandangan matamu. Ahhh aku tak suka itu, aku benar-benar tak suka mengikuti pandangamu, karena aku lebih suka memandang jauh ke dalam matamu.
Di sana And ...
Aku menenmukan sebuah telaga yang bening tanpa warna. Dasar telaga pun bisa kulihat dengan saksama, tak bergelombang dan tentu saja tak berbau anyir seperti laut di depan kita. Ikan-ikan berenang bebas tanpa takut ada yang memangsa. Ahhh, tahukah kau And, bersamamu aku merasa seperti ikan itu, berenang gembira memgitarimu tanpa takut kau akan melukaiku, tidak, apalagi memangsaku. Kau tetap anggun di antara tarian-tarianku. Jauh di kedalaman matamu, aku juga menemukan sebuah palung, palung yang teramat dalam namun tidak gelap, beberapa penghuni dasar danau menyukai palungmu. Tak pernah ada kesan bahaya walaupun dalamnya tak terhingga. Dan aku, aku pun seringkali ingin berenang ke sana, namun ketidakberanian membuatku selalu urung, aku takut, bukan takut kepadamu, namun aku takut tak mampu kembali.
Ya ... aku takut, takut tak mampu kembali!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H