Mohon tunggu...
Ridhoni Mirza Nugraha
Ridhoni Mirza Nugraha Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1

Seorang Mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Malang, senang menuliskan opini dan bertukar pendapat.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Minoritas dalam Era Globalisasi

21 Desember 2022   14:40 Diperbarui: 21 Desember 2022   14:51 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dewasa ini, globalisasi adalah hal yang tak dapat dipungkiri, sesuatu yang pasti terjadi, globalisasi telah memberi banyak dorongan dan implikasi dalam setiap celah kehidupan manusia, sehingga pada akhirnya masyarakat berusaha untuk beradaptasi terhadap transformasi dalam setiap segi kehidupan mereka. Tempo ini minoritas merupakan salah satu pembahasan yang cukup ramai menjadi pembahasan era globalisasi. 

Minoritas yang dimaksud disini yakni isu global yang menjadi hardest challenge kehidupan berbangsa dan bernegara. Istilah minoritas sering juga dipadankan dengan diskriminasi, intoleransi dan marjinalisasi suatu kelompok yang bepotensi menyebabkan keruntuhan kerukunan dikalangan masyarakat. 

Derasnya arus globalisasi membuat isu minoritas justru kian runcing dan mewabah, dengan teknologi yang tak terbatas membuat dunia semakin mudah dijangkau dan tak bersela. Faktor yang melatarbelakangi persoalan minoritas ini ada bermacam-macam, diantaranya adalah persoalan kultural dan kesusilaan yang menjadi akar bagi tumbuhnya diskriminasi dan intoleransi. 

Adanya istilah mayoritas-minoritas ini telah menciptakan pembedaan sosial dalam artian yang tidak positif dalam dinamika masyarakat sosial era ini.
Globalisasi telah membawa kepada banjirnya informasi yang mungkin saja mengandung lebih banyak berita palsu/hoax atau fitnah daripada berita yang benar. Akibatnya, salah satu implikasinya adalah terciptanya sebuah gesekan sosial atau bahkan antipati dalam masyarakat.  Menganggap umat beragama merupakan individu moderat dan toleran merupakan halnyang sudah biasa terjadi dinegara kita, Indonesia. Hal ini lah yang kemudian merupakan salah satu penyebab berbagai kasus diskriminasi dan intoleransi terhadap minoritas. 

Dalam interaksi sosial kita di Indonesia, kelompok keagamaan adalah hasil dari adanya gerakan sosial, hal tersebutlah yang menyebabkan adanya perilaku dari seorang individu yang sarat dengan agama. Yang menjadi problem adalah tentang seberapa jauh peran dari simbol agama dapat menjangkau dalam ranah sosial, ketika kedua kelompok mayoritas maupun minoritas dari berbagai keyakinan berbeda ini disandingkan dalam suatu masyarakat, dan selagi masing-masing dari simbol agama yang berbeda tersebut saling bergandengan dan berhubungan secara persisten.

Negara kita yang kaya akan perbedaan agama, suku, ras, etnik dan tradisi menjadikan kita sebagai negara yang kaya. Tak dapat dipungkiri akan ada kelompok yang terbagi menjadi dua, yang sedari tadi kita bahas. Multikulturalisme di negara kita sepertinya sudah menjadi halnyang biasa. Tetapi apakah hal yang biasa tersebut dapat di terima oleh semua orang?

Beberapa orang dinegara kita masih menganggap seorang yang minoritas merupakan seseorang yang pantas mendapatkan pengasingan di ranah sosial. Hal ini lah yang akan menimbulkan banyak konflik tentang diskriminasi dan rasisme di kalangan kehidupan sosial. 

Terlebih lagi adanya globalisasi, yang membuat para golongan yang memiliki pemikiran kincup tersebut semakin mudah untuk menyebar luaskan rasa kebencian terhadap suatu kaum minoritas melalui media sosial dan platform lainnya, dimana hal tersebut tentu saja tak boleh terjadi. Seperti yang telah kita ketahui bersama, bahwa kaum minoritas memiliki hak yang sama dengan kaum mayoritas dalam sebuah negara. Oleh karena itu, hak-hak dasar mereka baik secara sosial, politik, budaya dan ekonomi serta kebebasan beragama termasuk dalam hak asasi manusia (HAM) yang tidak dapat ditawar (non-derogable rights). Negara memiliki tanggung jawab melindungi hak-hak tersebut sebagaimana termaktub dalam Piagam PBB dan secara khusus di Indonesia sesuai dengan Pasal 27, 28, 29, 30, dan Pasal 31 UUD NRI 1945.

Sebagai orang Indonesia, saya menolak keras adanya diskriminasi terhadap kaum minoritas. Saya berasumsi bahwa orang-orang yang merasa bahwa perbedaan seharusnya tidak ada di negara kita adalah bukan seorang yang berasal dari tanah air ini. Mengapa demikian? Indonesia dibangun atas dasar perbedaan keragaman dan kebersamaan bukan atas dasar hubungan mayoritas dan minoritas. Bukan tentang suku mana yang lebih baik, agama mana yang lebih memberi pengaruh, tetapi dibangun atas dasar kebhinekaan. Sebagai warga Indonesia yang baik, dalam mengahadapi arus global kita perlu menghilangkan prasangka buruk atas dasar identitas kelompok, suku, dan agama, lempangkan dan tanam dalam pikiran akan keyakinan bahwa semua kelompok masyarakat menghendaki Indonesia yang damai, adil, dan makmur. Dengan demikian, pikiran atas dasar perbedaan bahwa kaum minoritas adalah golongan yang berbeda dapat terhapus dari pikiran kita sebagai makhluk sosial.

Kita dapat melihat dalam kegiatan G20 yang dilaksanakan di Bali, Indonesia pada 15-16 November 2022. G20 atau Group of Twenty adalah sebuah forum utama kerja sama ekonomi internasional yang beranggotakan negara-negara dengan perekonomian besar di dunia terdiri dari 19 negara dan 1 lembaga Uni Eropa. 

Pada saat penyelenggaraan kegiatan ini banyak pula dibahas tentang adanya diskriminasi bagi kaum minoritas, salah satunya tentang perlindungan bagi para pekerja minoritas dan perempuan. Kegiatan ini telah memberi ruang bagi para pesertanya untuk membahas isu-isu diskriminasi terhadap kelompok yang terkucilkan. G20 juga sudah memastikan bahwa penyandang disabilitas dan seluruh manusia dari kelompok apapun pantas mendapatkan akses Pendidikan, vaksinasi, layanan Kesehatan, dan terhindar dari tindak kekerasan maupun diskriminasi. Dengan demikian, diharapkan tidak ada lagi pengucilan suatu kelompok minoritas karena hal tersebut dapat di katakan sebagai sikap kriminalitas yang melanggar Hak Asasi Manusia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun