[caption caption="Tenang aja, buat Bapak ada Kok."][/caption]Dalam sebuah forum formal perusahaan kami yang sedang membahas tentang etika bisnis, seorang kawan di bagian procurement mengisahkan kepada saya pengalamannya ketika mencari pemasok sistem komputer untuk memenuhi kebutuhan departemen sistem informasi manajemen (MIS) di perusahaan kami. Beberapa hari kemudian seorang wiraniaga dari perusahaan swasta nasional besar terbuka, datang ke kantor kami untuk melakukan evaluasi kebutuhan perusahaan kami.
Seorang wiraniaga yang berpenampilan menarik dengan pembawaan yang mencerminkan bahwa ia telah terdidik dan terlatih dengan baik, mengunjungi kami, menyimak dan kemudian memberikan paparan ringkas tentang alternatif solusi yang perusahaannya dapat berikan kepada kami. Pendek kata, bagian procurement dan MIS tertarik dengan alternatif solusi yang ditawarkan. Ia berjanji untuk segera mengirimkan proposal teknis dan komersial berdasarkan hasil evaluasinya atas kebutuhan perusahaan kami.
Beberapa hari kemudian sang wiraniaga datang kembali mengunjungi kantor kami dengan membawa proposal lengkap. Kali ini kawan kami bersendirian menemui sang wiraniaga. Pada penutup pertemuan tersebut sang wiraniaga berujar dengan tenang - seolah merupakan bagian dari prosedur operasi baku sebuah proses penjualan: "Pak, tenang aja, kalau deal ini terjadi, buat Bapak sudah kami siapkan..."
Kawan saya tersenyum dan menimpali dengan pertanyaan: "Bentuknya apa?" Sang wiraniaga menjawab: "Terserah Bapak, bisa cash, bisa juga hand-phone atau gadget lain."
Kisah ini diceritakan di tengah pembicaraan tentang etika bisnis, dan pada visi untuk membangun sebuah bisnis yang bersih, tanpa korupsi, suap, maupun hal-hal lain yang tidak etis. Kami sampai kepada pembicaraan tentang suap, dan fungsinya. Kesimpulan kami, adalah bahwa dalam bisnis yang bersifat B2B (Business to Business), entertainment, hadiah gratifikasi, kick-back, atensi, atau apa pun namanya - adalah hal yang penting bilamana kita ingin transaksi terjadi dengan sang calon pelanggan atau prospek.
Lantas, apa yang terjadi bilamana kami tidak melakukan hal tersebut? Tentunya, ada kemungkinan bisnisnya akan diberikan oleh prospek kepada pesaing kita. Lain halnya dengan bisnis yang bersifat B2C (Business to Consumer). Tidak pernah ada wiraniaga dari, misalnya Toyota Astra Motor menawarkan kick-back kepada kita ketika kita ingin membeli mobil Toyota untuk kita sendiri. Paling ia akan menawarkan berbagai tambahan nilai untuk menguatkan pilihan kita terhadap merek Toyota, seperti servis gratis selama 3-tahun, garansi, layanan ganti-oli di rumah, kaca-film, dan lain-sebagainya. Arah saya mengetengahkan ini adalah bilamana hal tersebut dimungkinkan di B2C, kenapa tidak di B2B?
Kembali kepada kisah sang kawan di bagian procurement, kami membahas ironi dari situasi yang dialaminya - yaitu bahwa sang wiraniaga merupakan karyawan dari sebuah perusahaan swasta nasional yang besar dan bahkan terbuka. Artinya, tindakannya menawarkan kick-back kepada kawan saya - sangat mungkin merupakan kebijakan dari perusahaan tersebut. Sebuah perusahaan terbuka, yang sahamnya dimiliki oleh masyarakat (?) memiliki kebijakan bagi wiraniaganya untuk menawarkan kick-back atau gratifikasi? Sebuah ironi - di mana masyarakat Indonesia, katanya, sedang memerangi korupsi. Apakah ini oknum?
"if it looks like a duck, it moves like a duck, and it quacks like a duck - it's a duck."
Kalau perusahaan besar, kondang, terbuka seperti itu saja melakukan hal tersebut, siapakah kita - perusahaan swasta kecil ingin berbisnis tanpa suap?
Apakah korupsi yang katanya sedang diperangi oleh masyarakat Indonesia dibatasi hanya korupsi di institusi atau perusahaan milik negara (milik masyarakat)? Apakah korupsi di perusahaan swasta, yang notabene juga milik warga negara (anggota masyarakat) dapat diterima? Di manakah hak warga negara pemegang saham perusahaan swasta untuk memiliki rasa aman terhadap harta yang dimilikinya?
Korupsi dan perilaku korup merupakan fenomena yang sedang ramai dinyatakan sebagai musuh bangsa. Namun definisi korupsi hanya mencakup tindak memperkaya diri atau orang lain - dalam konteks transaksi dengan institusi pemerintahan dan perusahaan milik negara. Praktek korupsi, suap, gratifikasi di lingkungan binis swasta tidak begitu diperhatikan - bahkan mungkin sesuatu yang lazim, dan menjadi salah satu syarat berbisnis di Indonesia.