Saya pernah mau berpikir, menegur penjiplak tulisan persis menggarami lautan. Melelahkan dan sia-sia. Meskipun saya tetap berpikir bahwa penjiplak harus tetap ditegur karena dua alasan. Pertama, demi kebaikan si penjiplak sendiri. Kedua, demi kebaikan si penjiplak sendiri.
Saya pernah mau berpikir, menegur penjiplak tulisan seperti menggaruk koreng yang belum sepenuhnya kering. Menyebalkan dan sangat menyebalkan. Alih-alih meminta maaf, si penjiplak sering meletakkan perasaannya sebagai pihak yang dizalimi. Satu ketika saya dituding tidak melindungi nama baik sesama penulis sebab saya menegur penjiplak cerpen saya.
Saya pernah mau berpikir, sebagian besar penjiplak tulisan kurang rajin membaca kamus, terutama mengeja dan memahami makna kata maaf. Jangankan meminta maaf, bukti penjiplakan seakurat apa pun akan disangkal dan disanggah. Rerata mereka kurang paham anatomi tubuh, terkhusus urat malu. Jadi, semakin diingatkan semakin terangsang membela diri. Kumaha deui atuh?
Saya pernah mau berpikir, penjiplak tulisan itu sangat meyakini kemanjuran hasil instan. Sekalipun pernah tersingkap ulah menjiplaknya, kelak akan tergoda untuk menjiplak lagi. Sebab, doi sudah merasakan kenikmatan menjiplak dan enggan bersusah-susah menggali imajinasi sendiri. Buat apa susah payah berpikir kalau ada cara yang mudah. Kira-kira itu yang mau saya pikirkan ihwal isi pikiran si penjiplak.
Namun, sore ini saya malas berpikir. Memikirkan makanan saja enggan, apalagi memikirkan jiplakan si penjiplak. Maka, mohon tidak berpikir bahwa tulisan ini saya tujukan buat si anu atau si itu atau si eta yang ketahuan menjiplak. Lagi pula, saya baru "mau berpikir". Tepatnya, "pernah mau berpikir".
kandangrindu, Juni 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H