Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Ahok dan Seni Menohok

10 Agustus 2016   17:22 Diperbarui: 3 Februari 2021   22:40 4792
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama. (KOMPAS.com/ GLORI K WADRIANTO)

Tulisan ini tidaklah terkait dengan gonjang-ganjing Pilkada DKI Jakarta yang belakangan ini kian gencar menghiasi layar tivi dan ponsel saya. Bukan juga tentang peluang Ahok, sang petahana, terpilih kembali menjadi Gubernur DKI Jakarta dengan tugas utama menyelesaikan masalah kemacetan dan banjir di Ibu Kota yang tak ada habis-habisnya.

Kalaupun akhirnya tulisan ini menjurus pada sebentuk kritik kepada Ahok, itu sesuatu yang tak terhindarkan ketika saya mengambil sikap berjarak saat mengamati apa saja atau siapa saja yang saya tulis.

Lantas mengapa tulisan ini berjudul "Ahok dan Seni Menohok"? Kebetulan saya gemar menulis dengan menggunakan diksi yang berima. Ahok dan "menohok" seperti petinju dengan sarung tinjunya, tak bisa dipisahkan. Menohok berakar dari kata "tohok", kata yang lebih gahar dan sangar rasa bacanya dibanding "tonjok". Tohok berpaut dengan pukulan batin, tonjok bertaut dengan gebukan lahir.

Dalam urusan tohok-menohok, Ahok jagonya. Lawan tandingnya di ring politik harus punya strategi jitu sekaligus seni menampik. Kalau sebatas mampu mengelak atau menghindar, sia-sia naik ke atas ring untuk menantang Ahok. Salah-salah kehabisan napas [baca: modal politik] dan terkapar kehabisan daya.

Pada satu sisi, Ahok bagaikan refleksi dari petuah Nietzsche, "Lakukan, selalu lakukan apa yang ingin kamu lakukan, tetapi terlebih dahulu kamu harus bisa menghendaki." Ahok menghendaki kursi orang nomor satu di Jakarta, ia juga melakukan pelbagai cara untuk mencapai kehendaknya.

Namun, petuah Nietzsche tidak sesederhana itu. Ahok harus sadar bahwa dia dikitari "pemilih" yang berbeda dengan dirinya. Ahok keturunan Tionghoa, sementara pemilik "hak suara" di Jakarta sebagian besar pribumi dan Muslim. Dengan begitu, Ahok harus tahu kapan menjadi Mike Tyson yang menggasak cepat dan ganas sekaligus menjadi Muhammad Ali yang menguasai seni menari di atas ring.

Kekurangan Ahok, kalau mau disebut kekurangan, terlalu gencar melayangkan pukulan mematikan. Ahok perlu menuruti pesan Plato, "Mestinya negarawan itu filosof, menguasai matematika dan seni." Dengan demikian, Ahok tahu kapan waktunya merangkul dan kapan saatnya melayangkan pukulan keras.

Pada calon lawan, Ahok sudah melakukannya. Semula menggebu-gebu maju lewat jalur independen, sekarang memilih lewat kendaraan partai. Bagaimana dengan sikap Ahok kepada pemilik hak suara? Seyogianya Ahok tidak terus-menerus marah, energinya bisa terkuras habis dan pemegang hak suara yang semula sudah jatuh cinta bisa-bisa pindah ke lain hati. Apabila itu terjadi, lawan-lawannya bakal jingkrak-jingkrak kegirangan sebelum bel ronde terakhir berdentang.

Nah, bayangkan kedahsyatan Ahok jika petuah Nietzsche dan pesan Plato mau dan mampu dia penuhi. Makin dahsyat. Bisa-bisa melayang handuk putih lawan pada ronde-ronde awal!

Jakarta, Agustus 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun