Mahabenar netizen dengan segala komentarnya.
Beberapa tahun lalu, kalimat pembenaran atas perilaku virtual warganet kerap muncul atau melintas di pelbagai platform media sosial. Kalimat itu selintas terlihat satire dengan cemooh keras kepada netizen pemuja nyinyirisme, tetapi sepintas tampak sebagai kritik keras kepada kawanan warganet yang merasa paling atau selalu benar, serta paling atau selalu tahu.
Ketika Timnas Indonesia U-23 akhirnya kandas di semifinal Piala Asia U-23, serangan siber terhadap pemain alangkah gencar. Kekalahan itu membuat kulit kesabaran kita sobek-sobek, batin nasionalissme kita terluka, bahkan jantung emosi kita seketika meledak-ledak.
Kekerasan verbal sontak menjadi pilihan sebagai obat untuk mendinginkan panas hati, yakni dengan mengumpat dan mencaci pemain. Marselino langsung dikorbankan. Tidak layak jadi pemain timnas; bocil pemuja egoisme; individualis sejati. Macam-macam olokan mencuat di media sosial, seolah-olah warganet mendapat hak untuk menghakimi Marselino.
Ketika Gibran akhirnya disunting Prabowo untuk berduet dalam pilpres lalu, terlepas dari sangkaan telikung demokrasi banyak pihak, kontan membuat netizen merasa berhak untuk menghukum Gibran dengan kekerasan verbal. Nama putra sulung Presiden Jokowi berubah menjadi Samsul. Malahan, Belimbing Sayur.
Sungguh, kelakuan barbar netizen menguasai mayantara atau ruang maya. Dunia siber sebagai kota virtual yang bisa ditempati atau didiami oleh siapa saja menjadi rentan kekerasan dan rawan vandalisme. Warganet berlindung di balik dalih "mahabenar netizen dengan segala komentarnya".
Celakanya, kita menjadi bagian dari entitas siber yang terbiasa berkomentar "sekehendak udel" atau "seenak bokong" itu.
Kita sekarang tumbuh dan berkembang di dalam lingkungan interaktif yang penuh kekerasan. Warganet tidak hanya melihat kekerasan, tetapi sekaligus melakukan kekerasan. Itu semua terjadi di media interaktif dan noninteraktif.
Kampung virtual, seperti permainan video (video game), menyuguhkan kekerasan virtual. Netizen yang terlibat sebagai aktor (pemain) menjadi intim dengan kekerasan verbal. Sambil main, mereka teriakkan kata-kata seperti setan, anjing, atau bunuh bangsat.
Media noninteraktif, seperti televisi, menyajikan tontonan yang minim tuntunan. Adegan kekerasan menjadi sesuatu yang lazim dipertunjukkan, tidak peduli pada pukul berapa adegan kekerasan itu ditayangkan.
Tak seorang pun merasa bersalah ketika menendang batu hanya karena kesenangan semata, tetapi melakukan hal yang sama kepada anak-anak sekalipun dilarang secara universal. Apa bedanya? (Pizarro dkk., 2006).
Apakah seseorang harus atau tidak boleh terlibat dalam perilaku kekerasan? Itu pertanyaan etik. Kekerasan, dalam berbagai perspektif budaya kesukuan di Nusantara, selama ini masih dianggap sebagai masalah etika.