Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kelakar Raja Dempul dan Mural yang Terbungkam

19 Agustus 2021   15:18 Diperbarui: 19 Agustus 2021   15:31 482
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Marga Maldini sangat tenar di dunia bolasepak, terutama bagi penggemar AC Milan. Prestasi yang moncer menjadikan Maldini sebagai legenda klub. Cesare Maldini menyumbang 4 gelar skudeto, sedangkan Paolo Maldini mempersembahkan 7 gelar skudeto. Bukan prestasi kaleng-kaleng.

Di Nusantara, gelegar nama Faldo Maldini lumayan tokcer. Jika kamu termasuk kaum milenial dan ingin menjadi politisi, lihatlah Faldo Maldini. Faldo masuk dalam kalangan politisi muda yang mahir menjadi "kutu loncat". Semula aktif di Partai Amanat Nasional (PAN), sekarang bergiat di Partai Solidaritas Indonesia (PSI).

Apa faedah menjadi kutu loncat? Oh, jangan berburuk sangka. Politisi mesti fasih membaca peluang, cermat melihat kondisi, dan cekatan mengambil sikap yang menguntungkan. Jika posisi dalam satu partai kurang cerah, ya, pindah partai. Itu jalan pintas.

Andaikan Faldo tetap bertahan di PAN, barangkali ia masih berada di luar pagar Istana Negara. Ia mungkin sesekali dipanggil televisi sebagai narasumber dari sisi oposan. Setelah pindah partai, ia pun dipercaya menjadi Staf Khusus Menteri Sekretaris Negara. Lumayan buat mengembalikan modal yang tandas semasa menjadi caleg. Ups!

Bagaimanapun, kita mesti mengakui bahwa Faldo memang cerdas. Ia pintar menyenangkan atasan dan membela kepentingan bos. Selain kreatif mencari alasan, ia juga inovatif dalam menyampaikan argumen. Ya, memang harus begitu. Agar bisa "menjilat" dengan baik, keahlian berkelit dan berkilah mesti dikuasai.

Semasa menjadi mahasiswa di sebuah perguruan tinggi di Depok, Faldo pernah menggunakan mural sebagai salah satu media untuk mengkritik pemerintah. Setelah menjadi Staf Khusus, ia menyatakan bahwa mural harus mengantongi izin. Sungguh bertolak belakang. Itulah kemajuan. Ya, kemajuan di mata Faldo.

Belum terlalu lama Faldo meninggalkan PAN. Jejak digital masih banyak menyimpan kiprahnya sewaktu masih berseberangan dengan pemerintahan Jokowi. Sekarang tidak lagi. Ia kini pembela yang membangun benteng pertahanan secara membuaya buta.

Namun, pindahkan sudut pandang ke sisi lain. Sebenarnya langkah taktis Faldo bukan sekadar strategi mengamankan karier politik, melainkan sekaligus meneroka jalan untuk diri sendiri. Ia mahir menjadikan dirinya sebagai pusat perhatian dan pembicaraan.

Tidak heran jika belakangan ini sorotan netizen banyak tertuju kepadanya. Rupa-rupa gelar ia sandang. Dari Raja Dempul (The King of Dempul) hingga Ngabalin Baru (The New Ngabalin). Tidak apa-apa. Yang penting dapat sorotan penuh agar pada Pemilu 2024 bisa melenggang ke Senayan.

Politisi muda lain yang ingin jalan karier politiknya bersih dari onak dan duri, mestinya menjadikan Faldo selaku cermin. Pelajaran pertama yang mesti disimak adalah "jalan pintas untuk mencari dan mencuri perhatian". Itu bukan pelajaran mudah. Berat, berat!

Cara mencari perhatian yang jitu sudah dikuasai oleh Faldo, yakni ngomong ngawur. Ini perlu kita tilik dengan saksama. Pesawat yang sedang mendapat perawatan rutin di mata Faldo ternyata perlu didempul dan dicat ulang. Temuan baru yang sangat terbarukan.

Syahdan, sebelumnya kita mustahil mendengar ada pesawat yang didempul dan dicat ulang. Itu hanya terjadi setelah Faldo membela mati-matian kebijakan perawatan pesawat kepresiden yang menelan anggaran sebesar Rp2 miliar. Bagi rakyat, itu kebijakan yang tidak populis saat kita sedang direpotkan oleh pageblug. Bagi Faldo, itu biasa-biasa saja.

Cara mencuri perhatian yang ampuh sudah dikuasai dengan baik oleh Faldo, yakni ngumbar bacot. Taktik ini cukup jitu. Lihatlah cuitan Faldo di Twitter yang mengutip berita berjudul "Faldo Maldini: Lapar Kita Beli Makan, Bukan Cat". Dalam rentang beberapa menit, cuitan Faldo sudah dilahap netizen.

Ndilalah, klausa "lapar kita beli makan" muncul sebagai perisai untuk menahan terjangan mural "Tuhan, aku lapar" yang lebih dulu menjadi perhatian warganet. Mural itu viral lantaran tidak butuh waktu lama untuk segera hilang dari pandangan. Ternyata mural tersebut dicat ulang.

Jurus "mencari dan mencuri perhatian" yang dipertunjukkan oleh Faldo patut diperhatikan oleh calon politisi milenial. Jangan ingat, cukup diperhatikan. Apalagi sampai ikut-ikutan mengatakan bahwa pelukis mural dapat dituntut karena melanggar KUHP. Oh?

Benarkah pelukis mural sebegitu ditakuti sehingga diburu polisi dan karyanya mesti dicat ulang? Lah, kritik di negara demokratis adalah perkara biasa. Apalagi kritik yang disampaikan melalui corong seni. Tidak ada yang perlu ditakuti. Keran kreativitas tidak boleh tersumbat, begitu pula dengan keran kritik.

Mural adalah karya seni. Tidak perlu ditakuti, tidak perlu dibungkam. Mungkin hal itu yang abai diperhatikan atau sengaja tidak diperhatikan oleh Faldo. Ah, cupu.

Akan tetapi, Faldo hanya menjalankan kewajibannya untuk memuluskan karier politik. Kita tidak usah mangkel, apalagi sampai sewot tujuh turunan. Kita malah mendapat pelajaran berharga dari Faldo: yang mati-matian membenci suatu ketika bisa mampus-mampusan membela.

Lantas, apakah hubungan antara Cesare Maldini dan Paolo Maldini dengan Faldo Maldini? Tidak ada! [kp]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun