Kangen. Kata sifat yang satu itu cukup ringkas. Meski hanya terdiri dari enam huruf, tetapi kata yang dikarantina di dalam ragam cakapan itu menyeret dampak psikologis yang cukup dalam. Saya merasakannya hari ini. Mendadak saya kangen ingin menyapa teman-teman Kompasianer lewat sebuah tulisan ringan. Rasanya sudah lama banget tidak menyumbang urunan tulisan.
Nah, artikel ini hadir ke hadapan teman-teman sebagai obat kangen. Bisa jadi pengobat kangen saya kepada kalian, bisa juga sebagai obat rindu bagi teman-teman yang kangen pada tulisan saya. Khusus untuk bagian kedua, saya pikir mungkin ada Kompasianer yang kangen. Kalaupun takada, biarkan saja. Hehehe.
Ah, sudahlah. Dua paragraf di atas bolehlah kalian anggap sebagai basa-basi dari sahabat yang tengah dirundung rindu. Abaikan saja. Tidak usah kalian pikirkan. Lebih baik kalian sibuk memikirkan urusan hidup sehari-hari yang kian pelik karena belitan pandemi.
Adapun saya, sejatinya sekadar ingin berceloteh tentang cara memperbanyak kosakata. O, itu juga bukan perkara yang penting. Jauh lebih penting bagi kita, saat ini, tutorial soal cara bertahan hidup di tengah pagebluk yang makin tidak tertakar akhirnya dibanding memperbanyak kosakata. Meski begitu, hitunglah tutorial ini sebagai hiburan belaka.
Aduh, kebanyakan basa-basi. Maafkan.
Baiklah, kita langsung mengulik langkah pertama. Guna memperbanyak kosakata, saya mulai dari kebiasaan mengisi "teka-teki silang". Dahulu kala, pada zaman ponsel cerdas belum meracuni mata dan benak saya, teka-teki silang adalah "asupan batin" yang saban hari rutin saya konsumsi. Jika pelajar lain membawa setas buku pelajaran ke sekolah, saya malah mengantungi setidaknya satu buku teka-teki silang setiap ke sekolah.
Syaripuddin, teman sekelas saya semasa SMP yang sekarang sudah menduduki jabatan kepala dinas di kabupaten kelahiran, sering benar meledek kebiasaan saya mengisi TTS. Bukan apa-apa. Ia berada pada sekat antara takjub dan aneh. Saya jarang mencatat apa-apa yang diterangkan oleh guru di kelas, tetapi rangking satu tidak pernah berpindah dari tangan saya. Padahal, pelajaran rutin saya hanyalah mengisi TTS.
Mengisi TTS sebenarnya bukan soal seberapa banyak kata yang kita kuasai, melainkan seberapa bagus penguasaan kita atas suatu kata. Tatkala mengisi jawaban mendatar atau menurun, kita juga dilatih untuk memilih kata sesuai dengan kebutuhan. TTS merupakan jalan ninja untuk membiasakan diri memilih kata yang tepat.
Itu langkah pertama. Selanjutnya, menandai dan mencari tahu kata yang tidak saya ketahui maknanya. Dahulu kala, biar berasa saya sudah tuwir banget, saya tidak punya gawai dengan aplikasi kamus dari beragam bahasa. Jika ada kata yang ingin saya ulik artinya, saya terpaksa harus membuka kamus.
Jangan kira kamus yang saya punya merupakan buku yang saya beli sendiri, jangan. Kamus Bahasa Indonesia pertama saya adalah hibah dari Om Zainuddin Syam, wartawan Pedoman Rakyat sekaligus ayah teman sebangku saya di SMP--Irsyam Syam. Adapun Kamus Bahasa Inggris pertama saya adalah warisan dari Pak Idris, guru Bahasa Inggris saya di SMP Negeri Tanetea.