Dulu aku sering benar kehilangan sandal. Selesai tarawih, sandal ganti tuan. Aku pasrah saja. Ikhlaskan. Biarkan sandalku mengembara dan menjadi jalan ibadah bagiku.
Untung rumahku tidak jauh dari masjid. Hanya butuh ratusan langkah. Jika sandalku berganti tuan, aku pulang tanpa alas kaki. Nyeker saja. Toh aspal tidak panas. Hitung-hitung terapi pijat bagi telapak kaki.
Namun, bukan itu tujuan utama pulang dengan kaki nyeker. Bukan itu. Aku menghindari "sandal dibayar sandal". Ini bukan soal "mata dibayar mata", bukan. Bagiku, belum tentu sandal yang kuambil adalah milik orang yang memaling sandalku. Jadi, ya, nyeker saja.
Lagi pula, tidak ada yang berat dari nyeker.
Sayang sekali, malam ini aku maling sandal. Bukan di masjid seusai tarawih, melainkan di twitter. Ya, gambar sandal gombal di artikel ini aku pulung di twitter. Aku tidak maling sandal di masjid, tapi di twitter. Memang cuma gambar, tetapi gambar sandal. Masih ada sandalnya. Masih maling sebutannya.
Jangan bilang aku maling sengak, ya. Tidak. Aku tidak sengak. Mana ada maling yang mengumumkan kepada publik bahwa ia baru saja maling. Maling uang rakyat, misalnya. Sebelum maling, koruptor tidak pakai peci atau jilbab. Begitu dibekuk KPK, kontan pakai jilbab atau peci.
Meski begitu, aku tidak akan memberitahukan kepada kalian dari akun siapa gambar sandal ini aku pulung. Kalau aku beri tahu kalian, aku tidak maling gambar sandal lagi.
Sudah, itu saja. Kalau ada yang merasa sandalnya hilang, bisa juga berteriak mencari sandal, mungkin ini sandal yang ia cari. Kecuali kalau Munarman yang mencari sandal. Aku yakin, sandalnya mustahil segombal sandal yang kucuri itu.
Dukuh Rindu, 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H