Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Colliq Pujie: Perempuan Perkasa dari Tanah Bugis

12 April 2021   17:51 Diperbarui: 12 April 2021   18:06 3237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pementasan I La Galigo bersama Yayasan Lontar dan Perpusnas RI (Gambar: Dokpri)

Namanya khas Bugis. Colliq Pujie. Makna namanya amat dalam, yakni "Pucuk yang Terpuji". Mattinroe ri Tucae (Yang Mangkat di Tucae) adalah gelar anumerta yang disematkan kepadanya.

Arung Pancana Toa Ratna Kencana Colliq Pujie Mattinroe ri Tucae. Itulah nama utuh perempuan tangguh yang berasal dari Kerajaan Tanete (sekarang Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan). Nama yang menggambarkan jejak kepahlawanannya.

Colliq Pujie cendekiawan tersohor pada masanya. Namanya jauh melampaui samudra dan benua. Putri dari Raja Tanete itu menguasai sastra daerah Bugis. Sureq, sastra lisan Bugis, fasih ia pertontonkan. Tidak hanya itu, beliau juga menyalin dan menyadur sastra lisan ke dalam tulisan bernas dan bermutu. Sureq Baweng salah satu di antaranya.

Namun, karya monumental beliau yang paling lekat dalam ingatan khalayak adalah penyalinan Sureq I La Galigo. Atas campur tangan beliau, naskah sastra terpanjang di dunia itu mengabadi hingga hari ini.

***

Naskah digital I La Galigo koleksi perpustakaan Universitas Leiden, Belanda (Foto: Leiden University Libraries)
Naskah digital I La Galigo koleksi perpustakaan Universitas Leiden, Belanda (Foto: Leiden University Libraries)
Colliq Pujie diperkirakan lahir pada 1812 di Tanete, Barru. Pekerjaan intelektual beliau adalah pengarang, penyalin naskah Lontarak Bugis, serta penulis dan sekretaris Kerajaan Tanete. Tidak banyak perempuan pada zamannya yang mampu menandingi kiprahnya.

Hidup pada zaman kolonial Belanda tentu banyak tantangan. Pujangga yang pernah menjabat Ratu di Tanete dan Lamuru itu membuktikan rasa cintanya kepada tanah kelahiran. Ia tentang dengan gigih segala-gala kebijakan kolonial yang merugikan rakyat.

Akibat menentang penjajah Belanda, ia hidup di dalam "kerangkeng To Pute (Orang Bule)". Ia menjadi "tapol" sepanjang satu dasawarsa, yakni 1957--1867. Meski ditahan, ia mendapat tunjangan sebesar 20 gulden dan beras dua pikul, ia masih sering merogoh kocek sendiri demi menjaga kepulan asap dapur.

Colliq Pujie seorang visioner. Kendatipun menentang Belanda, beliau tidak membenci secara membabi buta segala hal yang berasal dari Belanda. Kedatangan seorang misionaris, Benjamin Frederick Matthes, ia sambut dengan tangan terbuka.

Pada masa itu, permintaan Matthes untuk menyalin Sureq I La Galiugo bagaikan menanam benih padi di atas batu besi. Mustahil. Alasannya sederhana. Meminjam pendapat Koolhof (2004), kisah I La Galigo kebanyakan didengar oleh masyarakat Bugis dalam bentuk lisan. Bukan tulisan.

Selama menjalani hidup sebagai tawanan, beliau terima tawaran Matthes guna menyalin ulang naskah I La Galigo. Kerja intelektual yang tiada tara. Colliq dengan tekun menyalin epos I La Galigo. Serakan kisah dari berbagai Lontarak dan sebaran cerita lisan ia salin sebegitu rupa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun