"... Kalau ada dua orang aja berpikir kayak dia, bahaya!" Begitu smes Raja Sapta Oktohari dalam gelar wicara Mata Najwa, Rabu (24/3/2021), di sebuah stasiun televisi.
Pukulan smes Raja yang cukup telak bukan tanpa alasan. Eko Noer Kristiyanto gara-garanya. Pengamat Hukum Olahraga, kerap disapa Eko Maung, menyatakan tidak setuju dengan asumsi-asumsi liar masyarakat Indonesia. Asumsi liar itu adalah menganggap tim bulutangkis Indonesia disabotase di All England 2021.
Eko tentu saja punya argumen. Ia mengacu pada liga sepakbola yang tunduk pada hukum nasional selama pandemi korona. Pada sisi lain, ia menyebut posisi BWF serbasalah lantaran harus tunduk pada keputusan otoritas kesehatan Pemerintah Inggris.
"Ketika mereka berlaku tidak profesional [karena] merugikan Indonesia, iya, saya akui, tapi kalau tujuannya menyingkirkan, sabotase, dan sebagainya, secara pribadi saya menganggap itu asumsi yang terlalu berlebihan," ucap Eko Maung dengan lugas.
Lebih lanjut, Eko mengatakan bahwa tudingan adanya diskriminasi harus diuji sebaik-baiknya jika kasus BWF dan All England akan dibawa ke Pengadilan Arbitrase Olahraga (CAS). Artinya, harus dibuktikan apakah betul BWF yang diskriminatif atau justru otoritas kesehatan Inggris.
Namun, pernyataan Eko bahwa kerugian terbesar ada pada pihak penyelenggara All England patut diperdebatkan. Bahwa Indonesia termasuk jawara di dunia badminton, itu benar. Bahwa penyelenggara All England akan rugi apabila Indonesia tidak ikut, itu juga benar.
Masalahnya, Indonesia sudah berada di sana. Bukan tidak mau ikut. Itu perkara berbeda. Malahan sudah ada atlet yang turun ke lapangan, sudah bertanding, dan menang pula. Setelah itu baru dipaksa mundur.
Insiden Birmingham bukan sekadar rugi atau tidaknya penyelenggara All England. Tidak begitu, Pak Eko. Atlet bulutangkis Indonesia jelas dirugikan. Sudah ada di sana, sudah bermain, sudah menang beberapa partai, lalu dipaksa mundur.
"Ketika kita mengukur dengan nominal, seolah kita mereduksi harga diri bangsa dengan uang," kata Eko.
Kerugian yang diderita pemain Indonesia mencakup kerugian materiel dan nonmateriel. Bukan soal uang tiket pesawat atau uang hotel belaka. Tidak begitu, Ferguso. Eh, Pak Eko. Sudah main lantas dipaksa mundur berkaitan erat dengan kerugian psikis. Disuruh jalan kaki dari stadion ke hotel juga menyebabkan kerugian psikis. Â
Apakah benar tidak ada diskriminasi? Tunggu dulu, Pak Eko. Kita telaah dulu makna diskriminasi. Perlakuan berbeda, itu arti sederhananya. Atlet Turki boleh bermain, pemain Indonesia dilarang bermain, padahal mereka satu pesawat. Itu diskriminasi.
Apakah tudingan diskriminatif itu bisa dibuktikan? Bisa. Mudah, kok. Cari saja data penumpang yang sepesawat dengan arlet Indonesia. Ambil dan putar rekaman pertandingan. Tunjukkan bagaimana pemain Indonesia dilarang bermain, sedangkan pemain Turki yang sepesawat dengan tim bulutangkis kita diperbolehkan bermain.
Jadi, kalau Eko dismes oleh Raja maka hal itu lumrah dan pantas. Mengapa saya sebut lumrah dan pantas? Lumrah karena Eko seperti memancing di air keruh. Pantas karena Eko selaku pengamat hukum tidak menggali akar masalah.