Jangankan uang, amplop surat milik negara saja dilarang dipakai oleh beliau. Tersebutlah kisah ketika Gemala Rabi'ah Hatta menempuh pendidikan di Australia. Kala itu, Gemala nyambi bekerja di Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Sidney.
Pada suatu ketika, sekira Maret 1975, Gemala mengirim surat kepada ayahnya. Kertasnya punya Gemala, amplopnya milik Konsulat. Pada akhir bulan, surat balasan dari ayahnya, Bung Hatta, tiba di hadapan Gemala.
"Ada satu hal yang Ayah mau peringatkan kepada Gemala. Kalau menulis surat kepada Ayah dan yang lain-lainnya, janganlah memakai kertas Konsulat Jenderal RI. Surat-surat Gemala kan surat pribadi, bukan surat dinas."
Begitu pungkas Bung Hatta dalam balasan surat untuk putrinya, Gemala. Bagi orang lain, korupsi selembar amplop milik negara mungkin hanya dianggap dosa kecil. Bagi Bung Hatta, tidak begitu. Mau kertas, mau waktu, mau uang; jika milik negara, jangan dikorupsi.
Yang Berjuang, Yang Berpikir
Bung Hatta mangkat pada 14 Maret 1980. Ketika beliau pergi untuk selamanya, Iwan Fals punya gambaran duka yang sangat membekas dalam ingatan. Hujan air mata dari pelosok negeri; saat melepas engkau pergi; berjuta kepala tertunduk haru.
Pada hari itu, 41 tahun lalu, Indonesia kehilangan salah seorang putra terbaiknya. Bung Hatta wafat dalam usia 78 tahun. Sepanjang usianya, beliau mencurahkan seluruh pikirannya untuk bangsa dan negara yang ia cintai.
Beliau seorang penulis. Apa yang terbetik dalam pikirannya, beliau tulis. Gagasan untuk kemajuan bangsa, beliau tulis. Pemikiran untuk kebaikan bersama, beliau tulis. Semuanya beliau tulis. Terus, terus, terus begitu hingga beliau berpulang ke haribaan-Nya.
Sepanjang hayatnya, Bung Hatta menulis 169 judul buku. Cendekia tiada banding, pemikir tiada tanding. Buku pertamanya terbit pada 1926. Kala itu beliau berusia 24 tahun. Namun, usia tidak menggerus ketekunan beliau. Tatkala memasuki tahun terakhir hidupnya, beliau menulis 11 buku.
Sebanyak 108 bukunya diterbitkan di Jakarta; 11 judul di Yogyakarta; 8 judul di Bandung; 5 judul di Bukittinggi; 4 judul di New York; 2 judul di Barkeley; dan 2 judul di Den Haag. Bahkan bukan rahasia lagi, beliau meminang istrinya dengan mahar sebuah buku.
Patut pula kita kenang, beliau menerbitkan buku pertama tatkala berusia 26 tahun. Buku itu ia karang ketika berada di dalam penjara. Buku itu berisi pembelaan dirinya ketika menghadapi sidang pengadilan di Den Haag pada 28 Maret 1928. Masih muda dan menulis di penjara. Buku itu berjudul Indoniesie Vriej atau Indonesia Merdeka.
Hari ini, berapa banyak pejabat tinggi negara yang bisa mengikuti jejak beliau? Mungkin ada, tetapi jumlahnya pasti tidak seberapa. Mungkin bisa dihitung jari.