Alah, tulisan abal-abal, bloger hanya beropini, pendapat pribadi melulu. Begitulah cara segelintir orang menanggapi tulisan bloger. Meremehkan. Merecehkan. Berbeda jikalau satu kabar atau opini muncul di koran atau portal daring. Sudah lewat saringan redaktur, pasti terukur.
Memang tidak sedikit orang yang memandang sebelah mata keberadaan bloger. Mereka yang berpaham demikian memang tidak mau tahu seberapa pelik bloger memikirkan konten, menata bingkai opini, menyisir dan menyasar data, menggali dan mengolah fakta. Mereka tidak mau tahu.
Bahkan seandainya data atau fakta itu disajikan bersama analisis yang tajam, mereka tetap akan tutup mata atas kerja keras bloger. Lucunya, mereka santai-santai saja apabila ada tulisan bloger yang dijiplak habis-habisan oleh jurnalis garong. Mana saringan redaktur? Koplak!
Tidak. Saya tidak sedang bergurau. Pencurian karya intelektual bloger bukan sekali-dua kali. Uh, sering sekali. Saya sendiri pernah mengalaminya. Tulisan saya dijadikan barang mainan belaka. Hanya rombak judul, itu pun sedikit, lalu tayang.
Apakah ada jurnalis garong yang memaling tulisan bloger? Ada. Mereka mencomot ide bloger, comot mentah-mentah, lalu mengakuinya sebagai karya sendiri. Cuma bermodal bongkar pasang judul dapat klik. Hanya mengganti satu-dua kata dapat pembaca. Bangsat, kan?
Kali ini saya akan mendongeng tentang jurnalis garong yang mencuri buah pikir bloger. Baru saja terjadi. Tulisan yang diplagiat adalah karya narablog Sigit Eka Pribadi. Masih gres, masih segar. Baru terjadi dua hari lalu.
Ini judul artikel gubahan Sigit:Â
Frasa "Agama" Bakal Dihapus, Diganti "Akhlak dan Budaya", Duhai Kemendikbud, Mas Nadiem?
Sekarang bandingkan dengan judul berita di bawah ini.
Mata Pelajaran Agama Akan Dihapus Jadi Pendidikan Akhlak dan Budaya, Kok Bisa Diganti Mas Nadiem?
Mata Pelajaran Agama akan Diganti jadi Pendidikan Akhlak dan Budaya? Kok Gitu Mas Nadiem?
Mata Pelajaran Agama akan Diganti jadi Pendidikan Akhlak dan Budaya? Kok Gitu Mas Nadiem?
Bandingkan antara judul artikel Kompasianer Sigit dengan tiga judul berita di tiga portal di atas. Hanya kutak-katik kata. Hanya mengubah posisi. Hanya mengganti diksi. Bebal banget, sih!
Pangkal soalnya bermula dari unggahan di portal bangka.tribunnews.com. Dari sana pencurian itu merajalela. Terjadilah maling massal. Mengapa saya sebut pencurian? Alasan saya sederhana. Redaktur tiga portal di atas tidak meminta izin kepada penulis, dalam hal ini Kompasianer Sigit.
Kenapa saya tuding mencuri? Perbuatan mengambil milik orang lain tanpa izin atau tidak sah berarti mencuri. Masih berteman dengan memaling, menggarong, atau merampok. Mencuri, ya, biasanya dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Seperti kasus artikel Sigit di atas.