Dalih spontanitas presiden dan antusiasme warga di NTT sesungguhnya tidak patut dilontarkan oleh pihak Istana Negara. Tidak bisa begitu. Jika protokoler istana gagal mengatur dan mengendalikan massa, lebih baik meminta maaf secara terbuka. Berkilah seribu satu alasan malah menimbulkan rupa-rupa praduga.
“Itu spontanitas Presiden untuk menghargai antusiasme masyarakat,” ujar Bey Machmudin, dilansir tirto.id. Lebih lanjut, Deputi Bidang Protokol, Pers, dan Media Sekretariat Presiden itu menyatakan, “Suvenirnya itu buku, kaos, dan masker. Tapi poinnya, Presiden tetap mengingatkan warga untuk menggunakan masker.”
Selaku Presiden RI, Pakde Jokowi tentu menyadari pentingnya menegakkan protokol kesehatan. Spontanitas tidak bisa dijadikan alasan untuk melanggar protokol kesehatan. Apalagi peraturan tentang protokol kesehatan itu diteken sendiri oleh beliau.
Parahnya, spontanitas Pak Jokowi justru makin mengobarkan antusiasme masyarakat. Bupati saja datang ke daerah yang jarang disambangi niscaya disambut dengan penuh sukacita. Apalagi jika yang datang adalah seorang presiden. Warga lagi yang salah. Masyarakat lagi yang salah. Rakyat lagi yang salah. Aih!
Pertanyaannya, mengapa Pak Jokowi memperlihatkan diri?
Dengan mobil yang disetir pelan, jelas hasrat warga melihat presidennya akan membuncah. Tidak perlu membuka atap mobil dan melambai-lambai, kaca mobil tertutup pun akan dianggap “keberuntungan” oleh warga. Masih pula ditambah dengan membagi-bagikan suvenir.
Apakah suvenir itu juga mendadak atau spontan ada?
Jelas sudah dipersiapkan sebelumnya. Tak masuk akal jika kaos, buku, dan masker dicetak di dalam mobil yang ditumpangi oleh Presiden. Jangankan bocah, celengan ayam jantan saja tahu bahwa suvenir pasti sudah dipersiapkan jauh-jauh hari. Jaka Sembung pakai kacamata. Kagak nyambung, Kaka.
Jangan sekadar mengatur, cobalah meneladani. Selaku pemimpin tertinggi di republik tersayang ini, selaku pejabat tinggi yang meneken aturan tentang protokol kesehatan, Pak Jokowi mestinya memberi teladan alias meneladani. Bukan malah melanggar sendiri. Celengan ayam saja tahu, tindakan seperti itu tidak patut dilakukan oleh seorang presiden.
Sungguhpun lalai sehingga jarak antarwarga tidak bisa ditata sesuai dengan protokol kesehatan, janganlah sibuk mencari sebab serta mencari alasan. Lebih bijak andaikan pihak istana, terutama Pak Bey selaku penanggung jawab keprotokoleran, meminta maaf setulus-tulusnya. Selalu ada maaf dari masyarakat, Pak Bey, apalagi untuk seorang presiden yang limbung dihantam pandemi.
Jikalau saja Pak Presiden atap mobil tidak dibuka, jikalau saja Presiden tidak berdiri, jikalau saja Presiden tidak melambaikan tangan dan membagikan suvenir, kerumunan akan lekas surut. Toh warga juga tidak akan seharian berdiri di tepi jalan. Begitu iring-iringan Presiden menghilang dari pandangan, satu per satu warga meninggalkan tempat.
Jangan-jangan Pak Bey lupa bahwa ada orang yang ditangkap dan dipenjara gara-gara disangka memicu kerumunan dan melanggar protokol kesehatan. Pak Bey, sekali saja presiden melanggar maka akan banyak orang yang bersikap abai dan apatis. Penegakan protokol kesehatan akan ambyar. Virus korona suka, mereka berdansa di udara, lalu menerjang warga.