SALAH SATU ALASAN mengapa saya senang menonton drama Korea (selanjutnya: drakor) adalah pengisahan penyakit dan gangguan kepribadian yang variatif. Dalam drakor, penyakit yang sudah umum tidak akan mendapat ekspos besar-besaran. Kanker darah, gagal ginjal, atau usus buntu tidak punya banyak tempat. Begitu juga dengan masuk angin.
Kemarin, Sabtu (20/2/2021), saya gunakan 16 jam waktu untuk rebahan di kasur menonton drakor yang apik, epik, dan romantis. Flower of Evil judulnya. Saya tergelitik menonton drakor ini gara-gara digedor-gedor notifikasi dari aplikasi Viu. Ditambah lagi, aktris Korea favorit saya main. Si Manis Bermata Teduh, Moon Chae Won, memerankan sosok detektif Cha Ji Won.
Konflik sudah tersaji sejak menit awal episode pertama bermula. Perayaan ulang tahun sosok protagonis pria, Baek Hee Song, berlangsung dengan suguhan ketidaksukaan mertua kepada si menantu--Cha Ji Won. Penonton yang suka main tebak-tebakan mungkin akan menduga konflik itu disulut oleh perbedaan kasta. Ternyata bukan. Semua gara-gara Cha Ji Won seorang detektif.
Episode demi episode tertata elok. Jalinan kisah mengalir dengan lancar. Plot alur mundur tidak disajikan sekaligus untuk memuaskan dahaga pemirsa, tetapi sedikit demi sedikit untuk memicu adrenalin penonton. Intensi dendam dan aroma romantisisme tersampaikan dengan baik dari episode awal hingga terakhir.
Melalui Flower of Evil, penonton disodori rupa-rupa pelajaran berharga. Aksi balas dendam bukan sekadar memuaskan hasrat pelaku, melainkan upaya bertahan hidup demi meletakkan sesuatu yang benar agar berada pada tempatnya. Kerumitan cerita mulai terlihat tatkala adegan mencari keturunan Do Min Seok dimulai. Do Min Seok sendiri adalah pembunuh berantai tersadis yang kisahnya sudah berlalu selama 18 tahun.
Dari situ mulai muncul betapa kita acapkali mengira anak seorang pembunuh sadis berpotensi pula menjadi pembunuh, sama seperti kita mengira anak maling mungkin akan menjadi maling pula. Padahal, buah tidak selalu jatuh dekat dari pohon. Kadang jauh sekali, terutama jika buah itu digondol maling.
Pembiasaan stigma negatif, perilaku prasangka buruk, dan penghukuman sosial yang salah tempat bagai hujan yang tercurah merata dari satu episode ke episode yang lain. Inilah tiga hal inspiratif yang saya serap dari drakor Flower of Evil.
Berjuang menjauhkan stigma
PADA EPISODE PERTAMA, penyuka drakor langsung disuguhi perlawanan atas stigma “bocah selalu jujur”. Kim In Seo, bocah 12 tahun, terjatuh di tangga apartemennya. Kepalanya berdarah. In Seo pingsan. Begitu siuman, ia langsung menunjuk ayahnya sebagai pelaku yang menginginkan agar ia terbunuh. Polisi mengusut kasus dan menemukan jawaban berbeda.
Mulai episode kedua, drakor yang ditayangkan oleh tvN ini menyuguhkan kebiasaan insan menghakimi orang lain hanya berdasarkan rumor, kabar angin, atau gosip tidak jelas. Stigma “pembunuh akan selalu terpicu untuk membunuh” pun disajikan dengan halus. Adalah Do Hyun Soo, putra bungsu Do Min Seok, menjadi buronan karena disangka pembunuh.
Sejak episode ketiga, ketidakrukunan Cha Ji Won pelan-pelan terkuak. Suami Ji Won, Baek Hee Song, ternyata hanyalah anak angkat mertua Ji Won. Hee Song diangkat anak oleh Direktur Baek bukan lantaran rasa belas kasihan, melainkan karena Direktur Baek ingin menyelamatkan kariernya sebagai direktur sebuah rumah sakit. Stigma “orang miskin selalu mengerat harta orang kaya” muncul.