Eks Ketua Umum PPP Romahurmuziy, misalnya, terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Vonis yang ia terima malah lebih ringan dibanding ketentuan terendah dalam UU Tipikor. Romy, sapaan Romahurmuziy, hanya divonis dua tahun penjara dan denda Rp100.000.000,00 subsider tiga bulan kurungan (lihat:Â Kompas.com).
Ahmadi, eks (kalau pakai mantan berasa sopan sekali, jadi saya gunakan eks atau bekas) Bupati Bener Meriah, Aceh, hanya divonis 3 (tiga) tahun penjara dan denda Rp100.000.000,00 subsider 3 (tiga) bulan kurungan setelah terbukti menyuap eks Gubernur Aceh Irwandi Yusuf (lihat: detik.com).
Jika saya uraikan semua, daftarnya sangat panjang. Ada kasus Idrus Marham bekas Mensos, Irman Gusman bekas Ketua DPD, serta Patrialis Akbar bekas Menteri Hukum dan HAM. Tiga bekas petinggi negara itu mendapat keringanan hukuman setelah mengajukan banding dan kasasi.
Cukuplah contoh-contoh di atas sebagai bukti bahwa selama ini, di Republik Indonesia tercinta ini, pemberantasan korupsi masih setengah hati. Itu sebabnya banyak pihak yang pesimistis tatkala Jokowi mewacanakan kembali ancaman hukuman mati bagi koruptor. Hasilnya masih sama setelah UU Nomor 31 Tahun 1999 direvisi lewat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.Â
Maka dari itu, rakyat jangan kaget jikalau gema tuntutan hukuman mati yang digaungkan kembali oleh Profesor Eddy tidak mendapat aplaus meriah dari kalangan politikus. Bukan sekarang saja wacana tuntutan hukuman mati ditolak oleh petinggi partai. Dari tahun-tahun kemarin sudah begitu.
Elite PDI Perjuangan misalnya, selaku partai pengusung utama Presiden Jokowi, menanggapi tawaran Jokowi dengan menolak tuntutan hukuman mati bagi koruptor. Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto mengatakan semua pihak tidak boleh menjadi penentu kehidupan seseorang (lihat: cnnindonesia.com).
Cukuplah satu penolakan itu yang saya agihkan dalam ujung artikel ini. Makin banyak yang saya sajikan makin sesak dada rakyat, makin sakit dada rakyat, makin nelangsa hati rakyat.
Meski begitu, seperti penilaian Profesor Eddy, kasus korupsi yang menjerat bekas Mensos dan Men-KP semoga dituntut hukuman mati. Soal hakim memvonis berbeda, tidak apalah, yang penting tuntutan jaksa dulu.
Jangan ingat, manakala rakyat dan Pemerintah menjerit, eh, mereka main sunat uang rakyat. [kp]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H