AKU INGIN menceritakan sesuatu kepadamu. Kamu mau mendengar ceritaku? Terima kasih, aku terharu. Kamu selalu punya waktu untuk mendengar kata-kataku. Aku sungguh terharu.
Tadi pagi ada teman yang mengirim pesan kepadaku. Ia bercerita tentang rasa sakit yang menyayat hatinya. Sepertinya aku taksanggup lagi bertahan hidup, katanya. Beban utang meremukkan tulang punggungku, katanya. Beban malu memecahkan kepalaku, katanya lagi.
Aku jawab, "Aku menyimak, Kawan."
Kemudian, ia berkisah tentang bagaimana ia dimarahi oleh istrinya, oleh mertuanya, oleh kakak iparnya, hanya gara-gara tagihan utang lewat Whatsapp terbaca oleh istrinya. Sudah dua hari nasi dan air minum tidak mau melewati kerongkongannya.
Lalu, ia ceritakan pula betapa marahnya ia kepada teman yang meminjaminya uang. Ia bahkan meminta aku agar menjauhi temannya. O ya, temannya adalah temanku juga. Kami bertiga berteman sejak kecil. Mereka menetap di kota yang sama, sedangkan aku--seperti yang kautahu--merantau ke pinggiran Jakarta.
Aku belum mengatakan apa-apa hingga ia berkata, "Terima kasih masih sudi mendengarkan keluhku."
***
SEJAM KEMUDIAN, temanku yang lain mengirim pesan kepadaku. O ya, ini teman yang dibicarakan oleh temanku sebelumnya. Kamu tidak bingung, kan? Baiklah, terima kasih karena belum kebingungan.
Pesan temanku ini sangat panjang sampai-sampai aku harus dua kali menekan kata "more". Mula-mula ia ceritakan bagaimana ia berusaha mati-matian membantu temanku yang pertama. Ia jarang main tagih, apalagi menagih paksa. Tiga hari lalu, katanya, terpaksa ia tagih piutangnya karena anaknya sakit dan tidak tahu mesti ke mana mencari uang.
Ia ceritakan pula bagaimana ia merasa sakit hati karena diomeli oleh temanku yang pertama. Masih untung aku mau membantu dia, katanya. Dia yang dibantu malah dia yang marah, katanya lagi. Seharusnya ia bersyukur, katanya sambil memakai emoji muka merah dan mata memelotot.
Aku baru akan membalas pesannya dengan menanyakan apa yang bisa kubantu, tetapi pesannya sudah masuk lagi.Â