Kepada yang baru saja pergi, Abdul Azis
Betapa menenangkan mati di pelukanmu. Engkau tahu, takada rumah paling ramah bagi luka-luka duniawiku, selain pelukanmu. Jika aku mati di sana, luka-luka itu menemukan obat paling ramah, menemukan tempat paling rumah. Aku ingin mati dengan tenang di pelukanmu.
Tetapi setelah berkali-kali lelap dalam pelukanmu, setelah bertahun-tahun memulung tawa di bibirmu, aku belum juga mati. Rasanya seperti burung nuri kehilangan cicit, seperti bocah manja kehilangan permen, seperti raja adikuasa kehilangan singgasana.
Betapa menyenangkan mati di pelukanmu. Engkau tahu, takada tempat paling nyaman bagi rasa putus asaku, kecuali pelukanmu. Sekali sepasang lenganmu terentang, aroma surga menyerbu dadaku, seluruh suram lolos dari tubuhku. Aku ingin senang dengan mati di pelukanmu.
Tetapi setelah berkali-kali luruh di pelukanmu, setelah bertahun-tahun luluh di dadamu, aku masih saja hidup. Rasanya seperti musafir kehilangan rumah singgah, seperti pelarian kehilangan tempat sembunyi, seperti penduka kehilangan air mata.
Betapa menyakitkan mati di pelukanmu. Aku mati, kamu hidup menanggung duka kehilangan.
6 Februari 2021
(Semula aku ingin mempersembahkan sebuah obituari untuk sahabatku, Abdul Azis, yang baru kemarin pergi untuk selamanya, tetapi tubuhku kehilangan tabah acapkali hendak menulis alinea pertama. Ingatan atas obrolan tentang hati yang dicabik-cabik kenyataan, tentang harapan yang dipapas kenyataan, tentang rencana yang dihancurkan kenyataan, membuat jari-jemariku kehilangan tenaga.
Selamat jalan kawanku, sekaligus adikku, Abdul Azis. Kita hanya sempat dekat dalam dua bulan, tetapi ingatanku kepadamu tidak akan sirna. Telah engkau temukan rumah impianmu. Peluklah doamu di situ, kupeluk doa untukmu di sini. Seperti pesanmu dalam sebuah puisimu:Â Kau sukma, aku tidak menangis.)Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H