Setelah melewati dua atau tiga kalimat, kadang kamu tercengang sendiri. Perasaan "oh, ternyata bisa begini" akhirnya menjadi kunci bagimu untuk membuka gerbang bayangan gagasan lantas melihat dan menatanya secara utuh.
3. Bikin peta visual
Dua tahap pertama bisa mengantarmu pada dua situasi, yakni menulis tanpa kendali dan menulis secara menyenangkan. Situasi pertama akan berakhir di terminal beban. Niat sebatas 1500 kata bisa-bisa berakhir 3500 kata. Bablas. Tersasar. Akhirnya, setengah mati menyunting.
Situasi kedua akan membawamu ke pelabuhan bahagia. Hal itu terjadi lantaran kamu melihat menulis sebagai kegiatan yang menyenangkan. Kamu memanfaatkan intuisi untuk menemukan titik-titik ide yang membahagiakan, bukan membahayakan.
Bagaimana jika kamu tersasar?Â
Buru-buru bikin peta visual. Tidak usah kautulis, bayangkan saja. Peta visual itu berisi patokan untuk kembali ke titik fokus. Ingat, fokusmu adalah rasialisme dan kerinduan. Peta visualnya berupa (1) kemungkinan pola tabiat rasialis; (2) faktor penyebab si A menjadi rasialis; (3) apa yang kamu rasakan tiap-tiap melihat tindak rasial; dan (4) seberapa rindu kamu pada kondisi hidup tanpa rasialisme.
Khusus untuk kamu yang tiba di pelabuhan bahagia, jangan tepuk dada dulu. Kembali ke alinea pertama. Baca. Resapi. Liarkan imajinasimu lagi. Tambal bagian yang koyak, buang bagian yang busuk. Permak. Perbaiki. Â Lalu, rayakan kemenanganmu.
***
SETELAH tulisanmu selesai, bolehlah berjoget-joget sebentar. Lima menit cukup. Lalu, kembali ke laptop. Baca ulang lagi. Kalau mau berpayah-payah, tantang dirimu. Biarkan otakmu memikirkan racikan ulang yang dapat menambah cemerlang tampilan gagasanmu.
Misalnya, pertanyakan (1) apakah tulisan ini bermanfaat atau tidak; (2) unsur kebaruan apa yang ada dari tulisanmu; dan (3) apakah curah idemu sudah mendorong jaring emosional pembaca atau belum. Cukup tiga pertanyaan itu untuk menantang dirimu agar terus bertumbuh.
Begitulah faedah intuisi dan cara mendayagunakannya dalam menulis opini. Kalau sudah terbiasa maka rintangan menulis terjamin hilang dari hadapanmu. Sekali lagi, kata kuncinya terbiasa. Kata kunci itu akan kamu dapati kalau kamu rajin membiasakan diri menulis.
Sebagai wasana, saya ingin mengagihkan petuah Edward Thorndike. Siapa beliau? Singkat saja, ya. Beliau adalah pakar psikologi perbandingan yang dianggap menemukan teori koneksionisme. Begini petuah beliau.
"Warna akan pudar. Kuil akan ambruk. Kerajaan akan runtuh. Namun, kata-kata bijaksana tetap abadi."
Selamat bertualang bersama intuisimu, Kawan!