03.30 WIB
Sudah setengah empat, Diari. Dinihari makin dingin. Rinduku belum juga tidur. Masih asyik ia bermain di hatiku. Dikiranya malam akan terus hening.
Rinduku memang tidak kenal waktu. Suka sekali ia bermain di hatiku. Pernah karena merasa diabaikan, pernah karena dijauhkan jarak. Pernah karena terpaksa sendirian, pernah karena sepi yang menikam. Masih asyik ia bermain de kepalaku. Dikiranya pagi tak menyediakan indah pertemuan.
Sudah setengah empat, Diari. Subuh mulai menggigil. Rinduku belum juga mengantuk. Ia masih riang bermain di dadaku.
Dikiranya matahari pagi tidak menjanjikan kehangatan lagi.
***
08.15 WIB
Ada yang pelan-pelan menelan rindu, Diari. Lidah harapannya letih mencecap bisu. Mata doanya pucat dan berkali-kali kalut. Kulit ketabahannya perlahan mengelupas.
Ada yang pelan-pelan meneguk air matanya sendiri, Diari. Ranjang sunyi berderit di telinganya yang peka pada pekik. Buluh rindu tumbuh rimbun menjulang di kebun sepi yang lama sekali kemarau.
Ada yang pelan-pelan melangitkan doa, Diari. Untuk orangtua yang tengah terbaring di rumah sakit; untuk perempuan tercinta yang terpaksa mondar-mandir mengurus yang sakit dan yang sehat; untuk virus korona agar segera menjauh sejauh-jauhnya.
Ada yang pelan-pelan menyeka cemas di matanya, Diari. Aku!