"Jadilah orang kaya, karena kalau kamu kaya kamu akan lebih mudah jadi orang baik. Dan, saat kita miskin, rasa benci kita pada dunia itu sudah terlalu besar sampai kita gak punya waktu untuk baik sama orang lain lagi," ujar Nadin Amizah dalam siniar Deddy Corbuzier.
Siniar (orang Inggris dan warga Indonesia yang keinggris-ingrisan menyebutnya podcast) itu agak lama. Hampir satu jam. Tepatnya 50 menit 22 detik. Namun, justru paparan tentang bagaimana menjadi orang baik versi Nadin pada menit ke-8 detik ke-49 yang kontan dilahap oleh warganet.
Kasihan Nadin. Iba hati saya melihatnya. Betapa tidak, semalaman nama dan pernyataannya nongkrong di topik tren media sosial. Rupa-rupa kecaman netizen. Maksud hati menganjurkan agar orang-orang gemar berbuat baik, apa daya malah disambit dan disambut dengan auman warganet.
Apa pasal sehingga Nadin dirisak dan "dirujak" oleh warganet?
Baiklah, mari kita sisir bersama. Penyanyi dengan lirik lagu yang sarat rasa sedih itu sejatinya sedang memberikan tip (bukan tips, ya) kepada pemirsa siniar Om Deddy. Tidak tanggung-tanggung, ia mengudar rahasia menjadi orang baik. Keren, kan? Itu tip yang mulia, lo.
Sayang sungguh sayang, Nadin terpeleset. Lidahnya keseleo. Tampaknya otak Nadin mengalami masalah. Mula-mula tersendat (lag), selanjutnya macet (hang). Untung belum galat (error) atau mandek total (crash). Itu dugaan cetek saya. Silakan tonton percakapan mereka. Nanti, ya.
Dari paragraf pembuka di atas yang saya kutip dari pernyataan Nadin, kita dapat melihat dengan jelas bahwa jalan termudah untuk menjadi orang baik adalah dengan menjadi kaya. Tilik saja: kalau kamu kaya, kamu akan lebih mudah menjadi orang yang baik.
Sekali lagi, lebih mudah. Kalau kita mau "menyelam lebih dalam" akan timbul masalah. Apakah jika kita miskin maka jalan menuju "orang baik" akan lebih sukar? Dari pernyataan Nadin, asumsi itu dapat kita terima. Persoalannya, ada unsur keliru dalam opini itu.
Tunggu dulu, Sobat. Kita samakan persepsi dulu. Kaya dan miskin yang Nadin maksud adalah kaya dan miskin dalam urusan kebendaan, materiel, atau harta. Persepsi ini bertumpu pada pernyataan pengantar Nadin, yakni "tertekan secara ekonomi". Jadi, kaya dan miskin yang kita bincangkan di sini jelas bukan kaya dan miskin hati, bukan pula kaya dan miskin budi.
Apalagi, Nadin mempertegas status sosial kaya dan miskin lewat cuitannya yang menyatakan bahwa pemilik uang ceban (Rp10.000,00) sedekahnya bisa lebih banyak daripada pemilik uang goceng (Rp5.000,00).
Mari kita kembali pada tip pertama yang dianjurkan oleh Nadin. Benarkah kemudahan menjadi orang baik itu hanya dipunyai oleh orang kaya? Belum tentu. Pijakan kita pada "orang baik" dulu. Sederhananya kita ikut alur pikir Nadin. Gampangnya, orang baik itu rajin berbuat baik. Kasih sedekah, misalnya. Setidaknya begitu pesan bundanya yang disampaikan Nadin kepada pemirsa.
Jika itu alas tumpunya, argumen Nadin seperti istana pasir yang gampang diluluh-lantakkan oleh gelombang. Berbuat baik tidak mesti dengan uang. Menjenguk tetangga yang sedak tertimpa kesusahan juga berbuat baik. Mendoakan hal-hal baik bagi orang lain juga berbuat baik.
Bahkan bersedekah saja tidak harus dengan uang. Membantu seorang nenek renta dan rabun menyeberang jalan juga sudah patut disebut bersedekah. Ada sedekah waktu dan peduli di situ. Malahan, senyum saja sedekah.
Orang termiskin sedunia pun dapat dengan mudah menjenguk tetangga, membantu nenek menyeberang, dan mendoakan hal-hal baik bagi orang lain. Kuncinya hanya empati dan simpati. Tidak harus kaya untuk melakukan kebaikan.
O ya, saya tidak harus menyeret-nyeret ayat atau firman Tuhan untuk mengudar perbuatan baik. Tidak usah juga mengumbar teori sosiologi dan antropologi, sebab itu domain Engkong Felix. Cukup dengan contoh sederhana saja. Namun, kebaikan-kebaikan remeh dan sederhana justru sering mengalirkan air mata haru tatkala yang kita bantu tepat pada saat ia sangat butuh.
Selanjutnya, mari kita ulik pernyataan kedua. Jangan jadi orang miskin kalau ingin menjadi orang baik. Kenapa? Merujuk pada pernyataan Nadin, orang miskin sudah kehabisan waktu untuk berbuat baik karena rasa bencinya pada dunia sedemikian besar.
Menariknya, Nadin menggunakan kata "kita" tatkala menyebut orang miskin dan memakai kata "kamu" manakala menyebut orang kaya. Mudah-mudahan Nadin paham makna kita. Paling tidak, Nadin mafhum bahwa menyebut "kita" berarti ada kemungkinan ia pernah mengalami getir nasib orang miskin.
Itu penting. Mengapa? Orang kaya yang tidak pernah miskin akan sulit memahami perasaan terdalam orang miskin. Sebaliknya juga begitu. Orang miskin yang tidak pernah kaya bakal sulit memahami pola pikir orang kaya. Paling banter orang sok kaya dan sok miskin yang bisa agak mendekati dua status sosial ekonomi itu.
Di situlah pangkal soal sehingga warganet merisak Nadin. Jika kita menggunakan asumsi ala Nadin, yakni orang miskin susah berbuat baik, berarti dapat pula dikatakan bahwa orang miskin mudah berbuat jahat.
Benarkah demikian? Belum tentu. Berbuat jahat tidak memandang kaya atau miskin. Mau kaya mau papa dua-duanya berpotensi melakukan kejahatan. Kalau hanya orang miskin yang mudah berbuat jahat, koruptor di Indonesia tidak akan ada. KPK kita bubarkan saya.
Apa dasar argumen saya? Apa Nadin pikir yang mengerat uang rakyat itu orang miskin? Bukan, Cuy. Mereka kaya-kaya. Mereka berkorban banyak uang untuk menjadi politisi. Mereka memancurkan banyak duit untuk menjadi pejabat. Mereka menghabiskan isi rekening untuk menyogok. Orang miskin mana sanggup, Bray. Bukan jalannya. Susah jalannya.
Bahwa ada orang miskin yang melakukan kejahatan, itu benar. Lo, kejahatan memang tidak punya mata hati. Lelaki-perempuan, tua-muda, miskin-kaya, beragama-tidak beragama, suku ini-suku itu semuanya sama saja. Sama-sama bisa berbuat jahat.
Saya dan Nadin juga berpotensi melakukan hal baik dan hal buruk. Tatkala Nadin menuding orang miskin sibuk membenci dunia, Nadin sudah menyakiti hati orang miskin. Tidak peduli Nadin ada di balik benteng kilah "sebagian, segelintir, atau semuanya".
Saya juga berpeluang besar berbuat jahat. Tulisan ini dapat dengan mudah menyakiti hati Nadin. Itu kalau Nadin tidak terima pernyataannya saya kuliti. Belum lagi perasaan fan Nadin yang amat fanatik. Mirip benar dengan suporter MU.
Tuh kan, saya kian jahat karena membawa-bawa suporter MU. Maaf, ya. Keceplosan.
Dengan demikian, pernyataan Nadin memang jauh kuping kanan dari kuping kiri kalau kita sisir dengan teliti. Terlepas dari kengeyelan penggemar dalam membela idola, kita harus menerima kenyataan bahwa orang miskin punya dunianya sendiri dan bisa melakukan perbuatan baik apa pun caranya.
Mudah-mudahan Teh Nadin tidak sakit hati karena artikel ini. Moga-moga pula ia mengerti mengapa warganet merisak dirinya dan merujak pernyataannya. Hampura, Teh!
Salam takzim, Khrisna Pabichara
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H