17.00 WIB
Kesepian itu menyiksa, Diari.
Seperti kaududuk di ruang tunggu bandara yang ramai, tetapi tubuhmu digigiti perasaan sepi yang mencekam. Kadang kamu berharap ada yang melintas di depanmu, menoleh kepadamu, dan menyapamu sebagai orang yang mengenalmu. Kadang kamu berharap aku ada di sisimu, duduk di bangku kosong di sampingmu--yang tasmu sengaja kausimpan di sana agar orang lain tak mendudukinya--dan mengobrolkan apa saja denganmu.
Akan tetapi, Diari, tidak semua harapanmu dipenuhi oleh kenyataan. Tiada yang melintas di depanmu, tiada yang menoleh kepadamu, tiada yang menyapamu dengan akrab, tiada aku di sampingmu. Kamu sendirian. Sunyi menyelimuti hatimu. Saat seperti itulah cinta menunjukkan kepadamu cara bertahan dari perih gigitan sunyi.
Kesepian itu menyiksa, Diari. Sangat menyiksa.
Ya, aku sedang kesepian. Hingga pukul lima sore ia masih di tempatnya bekerja, sibuk dengan beban-beban kerja administratif, bolak-balik dari satu gedung ke gedung lain, dan tidak jelas pula pukul berapa ia akan tiba di rumah. Barangkali sepatu sudah menggigiti kulit kakinya, letih melolosi tempurung lututnya, dan ngilu menggelayuti pinggangnya. Aku tidak tahu apa yang sedang ia alami, Diari. Aku hanya bisa berdoa semoga ia kuat dan baik-baik saja.
Kesepian seperti ladang, Diari. Kamu bisa menanam bibit-bibit rindu dan cemburu di situ. Sepuas hatimu. Seenak jidatmu.
Aku sudah meminta agar ia segera pulang, Diari, tetapi pekerjaannya masih menggunung. Aku tahu ia kelelahan, Diari, tetapi aku tidak bisa berbuat apa-apa selain mendoakan agar ia tetap tangguh. Kamu tahu, Diari, kadang aku tidak mampu melakukan apa pun selain berdoa.
Betapa dahsyat sepi merapuhkan hatiku.
Ronggarindu, 13 Januari 2021