Suatu ketika ingin kupasang kaki palsu
pada tubuh Kenangan yang kumungkiri
biar ia buru-buru meninggalkan ingatanku.
Tetapi matanya lautan yang menumpahkan
dan menderaskan hujan kata ke balada.
Maka kupinjamkan untuknya kursi roda
warisan Ibunda yang paling setia kujaga.
Ia melengos dan melayah ke atas meja
gesit sekali menyelinap ke layar komputer
menghilang entah bersembunyi di mana.
Kukira Kenangan tenang dan senang
ternyata ia hasut data dan kata
lalu kubanting komputer sekuat marah
biar ia meraung dan melolong.
Aku terbahak melihatnya menderita,
pontang-panting lari ke ruang tamu,
ke pekarangan, ke bunga, ke langit.
Petang tadi ia kembali bertandang
diantar hujan ganas di pelataran pedih
ingatanku menggigil karenanya.
Jemari Kenangan mengetuk-ngetuk pintu
mengucap salam seberisik anak tetangga,
lekas kubukakan pintu tabah untuknya,
kubiarkan masuk dan duduk di sofa.
Matanya laksana mata dokter jaga
yang enggan dan menolak merawat pasien
sebelum uang jaminan dilunasi.
Sekarang ia tersenyum kepadaku
seramah caleg menjelang pemilu
perutku mendadak mual karenanya.
Tiada kopi atau teh sebagai jamuan. Ah,
kalaupun ada, aku tidak ingin menjamunya
sebab Kenangan seperti tamu menyebalkan
yang sering sengaja lupa jam pulang.
Ia ulurkan tangan seraya berkata riang,
"Aku memang tamu tak kauinginkan,
lidahku bisa, membunuhmu berkali-kali,
satu saat akan kaucari. Jadi, lekaslahÂ
seduh kopi dari perahan rindu!"
2020