SABLAK baru saja membuka pintu jamban ketika bel rumahnya berdentang. Semula ia hendak berlama-lama menyaksikan seorang demi seorang warga Dukuh Sukaduka memasuki bilik coblos, tetapi ia kebelet. Sesuatu di dalam perutnya minta lekas-lekas dikeluarkan. Buru-buru ia pulang, bergegas ke kakus, dan seseorang memencet bel berkali-kali.
Ia tidak mau ritual buang hajatnya terganggu. Ia selalu khusyuk saat berak. Maka ia putuskan berbalik, berlari kecil ke pintu, dan ingin segera memperlihatkan keterampilannya: nyerocos tiada henti seperti mobil tanpa rem. Tetapi ia terjelengar begitu membuka pintu.
Keringat dingin membasahi jidat lebarnya. Bukan lantaran melihat muka Tengil dengan seulas senyum sinis di hadapannya, melainkan karena perutnya berteriak minta segera dikuras.Â
"Ada apa?" tanya Sablak tanpa basa-basi.
"Kembalikan isi amplop tadi subuh," ujar Tengil dengan mata membelalak. "Kamu gak nyoblos dukungan kami!"
Sudahlah ususnya berasa dipilin-pilih, datang pula Ketua Tim Sukses Paslon Rese (Remah-Senja) dengan todongan yang tidak tanggung-tanggung. Kontan Sablak mendelik. "Aku tidak pernah minta uang kepadamu, kepada junjunganmu, kepada siapa pun!"
"Tapi kamu terima uangnya!"
"Menolak rezeki itu bodoh, Ngil!"
"Gak ada alasan," sergah Tengil dengan suara setengah menjerit, "dasar pengkhianat!"
Pret. Kentut Sablak bagai guntur saja. Bunyinya besar. Seperti suara kain sobek. Aroma busuk segera menghiasi teras. Tengil menutup hidung seraya menggerutu kesal. Sablak tidak mau tahu. "Aku kebelet," katanya dalam tempo sekencang laju Usain Bolt, "masak berak di sini?"
***