Di sebuah negara bernama Indonesia, rakyat dipaksa setiap waktu untuk mengerti, memahami, dan memaklumi kebijakan dan keputusan kaum elite. Rakyat punya wakil, tetapi rakyatlah yang mesti memaklumi wakilnya alih-alih wakil rakyat memaklumi aspirasi rakyat yang diwakili.
Pada saat Rapat Dengar Pendapat (RDP), Selasa (22/6/2020), antara Komisi II DPR RI dengan KPU RI, Bawaslu RI, dan Kemendagri RI, rakyat sudah dipaksa menggeleng-gelengkan kepala. Betapa tidak, melalui RDP tersebut diketahui bahwa pasien korona yang tengah menjalani isolasi mesti memilih pada Pilkada Serempak 2020.
Arif Budiman, Ketua KPU RI, menegaskan bahwa pemilih yang terpapar korona dan tengah menjalani isolasi atau rawat inap khusus di rumah sakit tidak dapat memilih di TPS. Itu jelas. Ada risiko penularan dan persebaran jika pasien korona diseret ke TPS.
Lantaran risiko itu, pasien yang terpapar korona dan tengah menjalani isolasi akan difasilitasi dengan cara darurat. Dua petugas KPPS didampingi oleh dua saksi akan mendatangi pasien di lokasi isolasi. Ngeri sekali.
Silakan simak komik yang disiarkan oleh KPU.
Dari komik di atas kita dapat mengetahui bahwa rakyat disuruh mencerna pesan yang sangat kuat. Apa pun risikonya, setiap orang mesti memilih. Mau tidak mau rakyat harus memaklumi keputusan ngeyel itu. Sudahlah digelar pada masa rawan, pilkada serem(-)pak ini disertai pula dengan kebijakan keblinger yang amat berbahaya.
Benar bahwa petugas, pengawas, dan saksi yang mendatangi pasien akan memakai pakaian APD lengkap, benar bahwa ada protokol kesehatan yang secara ketat mengatur cara pemungutan suara bagi pasien di tempat mereka diisolasi atau dirawat, tetapi tidak ada garansi semua pihak akan selamat. Apakah KPU, Bawaslu, atau Kemendagri dapat menjamin keselamatan mereka?
Saya tidak yakin. Â
Mengapa KPU RI sedemikian ngeyel? Alasannya, setiap suara berharga. Dalam dunia demokrasi, hak suara memang amat penting karena merupakan hak asasi semua warga. Hal itu bisa kita maklumi. Bagaimanapun, satu suara memang sangat berarti sebab dapat memengaruhi kemenangan atau kekalahan paslon.
Namun, ada alasan lain yang sepertinya diabaikan oleh penyelenggara pilkada serempak. Setelah rakyat dipaksa memahami situasi bahwa pilkada harus digelar sekalipun pandemi korona masih merajalela, sekarang rakyat dipaksa agar memaklumi perkara berisiko besar itu.
Kita boleh bersikukuh tentang hak suara, tetapi kita tidak boleh mengabaikan hak hidup. Bisakah Negara memastikan keselamatan dan kesehatan petugas KPPS, pengawas, dan saksi dari bahaya yang mengancam mereka? Itu pertanyaan penting. Saya ulang: PENTING!