Suatu ketika seseorang bertanya kepada saya. Daeng, swasunting belum ada di dalam KBBI. Ya, saya tahu. Oleh karena itu saya jawab dengan lugas. Jika penulis hanya menggunakan kata yang tertera dalam KBBI, bahasa Indonesia tidak akan berkembang.Â
Jawaban saya tidak mengada-ada. Bukan pula sejenis alasan yang dibuat-buat, bukan. Bahasa Indonesia memang harus terus dikayakan dan dimakmurkan. Penulis termasuk garda terdepan dalam mengayakan dan memakmurkan bahasa Indonesia.
Itulah musabab mengapa saya kerap menggunakan kata swasunting. Saya menghindari kata self-editing karena ada padanannya dalam bahasa Indonesia yang layak saya gunakan. Mana tahu karena kerap digunakan lantas swasunting diserap ke dalam KBBI.
Oke? Sip. Kita sudahi basa-basi tentang swasunting. Sebelum melangkah lebih jauh, simak dulu tiga perkara yang penting kita perhatikan sebelum menyunting tulisan. Silakan tilik infografis di bawah ini.
Langsung saja kita udar kaidah pertama, yakni menyigi asal kata. Kadang-kadang ada rekan penulis yang kerap mengabaikan akar kata atau kata dasar. Akibatnya fatal karena dapat memantik kesalahan penulisan.
Sekadar contoh kata menyuci. Sepintas terlihat kata itu tidak keliru. Kenapa? Sebab, boleh jadi makna yang disasar penulis adalah 'menjadi suci'. Kata menyuci berakar dari kata suci. Jika dibubuhi imbuhan /me-/, bentukannya adalah menyuci. Tidak salah, kan?
O, tunggu dulu. Perhatikan konteks kalimatnya. Jika kalimatnya berbunyi "Ibu menyuci baju" maka kata menyuci salah tempat, salah guna, dan salah makna. Mengapa? Ibu pasti hanya berniat 'membersihkan baju', bukan 'membuat baju menjadi benda suci'. Dengan demikian, kata yang tepat mestinya mencuci.
Patut kita ingat, kata dasar berawalan konsonan /c/ tidak diluluhkan apabila dibubuhi awalan /me-/. Contohnya mencabut (dari kata dasar cabut), mencekal (cekal), mencungkil (cungkil), dan mencongok (congok).
Manakala kita sudah mengetahui akar atau asal kata maka kita dapat dengan mudah menata penempatan kata di dalam kalimat sehingga terhindar dari salah tempat, salah guna, dan salah makna. Keren, kan? Mengiya saja, Kawan.
Perhatikan: Aku sudah makan Ibu. Akibat tidak menggunakan tanda koma (,) setelah kata makan maka makna kata bergeser sangat jauh. Semula penulis bermaksud menyajikan kabar bahwa si pengujar sudah makan, ternyata malah menjadi "sudah makan Ibu".
Sadis, ibu sendiri tega dimakan. Durhaka banget.
Simak perbedaannya. Aku sudah makan, Ibu. Sungguh jauh gula dari semut, bukan? Lantaran tanda koma (,) abai dibubuhkan, makna kalimat bisa bergeser sangat jauh dari sasaran. Maka dari itu, Kawan, jangan remehkan tanda baca.
Kesalahan ringan, tetapi fatal, juga kerap terjadi dalam penulisan kata ulang berimbuhan. Jika kita mengulang satu kata dan membubuhkan imbuhan, tanda hubung (-) mesti kita gunakan. Misalnya: pukul-memukul, tulis-menulis, dan peluk-pelukan.Â
Akhirnya kita tiba pada kaidah ketiga, yaitu menyelami konteks kalimat. Tatkala kita menyunting nas, mau tidak mau kita mesti membaca tulisan secara utuh. Selanjutnya, mengurai kalimat supaya tidak tersesat saat menyunting.
Perhatikan contoh ini. Dari sana rupanya bermula sepak terjang Maradona. Simaklah peletakan dan penggunaan kata rupanya di dalam kalimat. Kata rupa bermakna 'tampang muka, raut muka, atau roman muka'. Kalimat menjadi kacau gara-gara kehadiran rupanya.
Jikalau kita menginginkan makna "jika menilik bentuk atau keadaannya" maka kata yang tepat adalah rupa-rupanya. Remeh, tetapi tidak receh. Camkan: rupa-rupanya semakna dengan agaknya, kelihatannya, atau tampaknya. Semakna pula dengan kiranya, syahdan, atau konon.
Oke, Sobat. Sampai di sini dulu perbincangan kita tentang kaidah swasunting. Moga-moga berguna.
Salam takzim, Khrisna Pabichara
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H