Anda celaka kalau menyusun dialog hanya dengan berbekal "percakapan sehari-hari". Anda butuh akal sehat supaya tahu bahwa percakapan dan dialog merupakan dua peristiwa yang berbeda. Mari kita buktikan.
Jika hanya ingin menyusun percakapan, Anda tidak perlu mengerutkan kening. Cukup berkata "apa kabar" atau "sekarang tinggal di mana" atau "anakmu sudah besar". Basa-basi segera mengalir. Anda bisa mengakhiri percakapan atau mengatakan "sampai jumpa".
Percakapan adalah cara Anda berkomunikasi dengan orang lain dalam kehidupan sehari-hari. Kadang Anda merasa bosan, kadang Anda sangat tertarik. Itulah percakapan. Anda bercakap-cakap dengan orang lain karena ingin menyampaikan pesan, peduli amat membosankan atau menyenangkan.
Dengan kata lain, percakapan adalah serangkaian obrolan yang Anda gunakan sehari-hari. Tidak ada beban menunjukkan karakter, tidak mesti memperkuat alur cerita, tidak harus menyajikan fakta, tidak wajib menghadirkan konflik, dan tidak perlu membangun suasana.
Berbeda dengan dialog dalam cerita. Jika Anda menyusun dialog, kata "dari mana" akan terdengar basi dan klise jika tidak didahului atau diikuti oleh dialog lain yang menguatkan. Dari sini saja kita sudah bisa memahami bahwa dialog berbeda dengan percakapan.
Coba perhatikan percakapan ini.
"Kamu Diana, kan? Sini dong, aku mau bicara."
Bandingkan dengan dialog ini.
"Aku tahu namamu Diana." Desisku sambil melirik kanan kiri. "Ada yang harus kusampaikan kepadamu. Penting. Sangat penting!"
Pada bagian percakapan, tidak ada tekanan emosi yang kuat. Berbeda dengan bagian dialog, ada efek drama yang muncul dari omongan sang tokoh. Jika bagian percakapan di atas kita salin dan pindahkan begitu saja ke dalam cerpen, dialog akan hambar. Ibarat jatuh cinta tanpa curi-curi pandang.