Sebenarnya saya paling malas mengulik kesalahan orang lain. Butir-butir pasir di pantai kalah banyak dibanding kesalahan saya. Jadi, tiada guna saya singkap kesalahan orang. Namun, hari ini rasa malas itu menguap entah ke mana. Lahirlah artikel ini.
Semua bermula dari niat awal saya mengontrak kamar di apartemen Kompasiana. Saya ingin sekali mengajak penghuni lain untuk mengobrol lepas tentang kebahasaan dan kepenulisan. Sesekali terbit pula air liur untuk membincangkan sepak bola dan politik.
Tidak heran jika 72 artikel saya di Kompasiana mengudar bahasa Indonesia. Sayang sekali, saya berkali-kali disergap rasa jenuh. Saya juga kerap merasa takut jangan-jangan tulisan saya susah dicerna, padahal segala cara telah saya coba supaya tulisan saya komunikatif dan aplikatif.Â
Faktanya tidak. Hari pertama Bulan Bahasa 2020 saya masuki dengan rupa-rupa cemas. Adakah tulisan saya berguna? Adakah tulisan anggitan saya berguna? Adakah tulisan anggitan saya tentang bahasa Indonesia sudah berguna? Jawaban saya mengejutkan, tidak berguna. Mungkin belum, bukan tidak berguna.
Mengapa saya tiba pada kata "belum berguna"? Berikut alasan saya.
Tiga Salah Kaprah Kata
Penutur bahasa Indonesia, menulis dengan menggunakan bahasa Indonesia, dibaca oleh sesama orang Indonesia, tetapi keinggris-inggrisan. Jika tidak pada judul, pasti dalam tulisan. Saya tidak tahu apa alasan Kompasianer, termasuk Admin K, tetapi gejala keminggris amat dahsyat.
Sebagian besar Kompasianer ternyata pemuja bahasa Inggris. Barisan penyuka K-Pop kalah geliat dan gereget. Tengok saja pemakai kata "tips". Hampir tiap hari ada artikel dengan judul yang menggunakan kata "tips". Sungguh mental inlander level kronis. Koplak, bahasa nasional diremehkan.
Maaf, saya agak kasar. Tidak usah diambil hati. Anggap saja saya sedang rawan sopan santun. Tidak apa-apa. Meski begitu, saya punya alasan kuat sehingga saya memilih kata "koplak". Bukan apa-apa, rasa-rasanya kita semakin jauh dari perilaku "mencintai bahasa Indonesia".
Lihat saja penggunaan kata menelisik di Kompasiana. Luar biadab banyaknya. Padahal, tidak ada kata menelisik dalam bahasa Indonesia. Sama seperti tips, kata kulik juga sering muncul. Ai, apa pula arti kulik? Mestinya kita pakai menyelisik, tip, dan ulik.
Lebih nahas lagi, tiga kata itu sering benar nangkring di kolom Artikel Utama. Entah apa maksud Admin K. Jika memang alasannya tidak tahu, saya bisa terima. Solusinya tinggal mencari tahu. Akan tetapi, Admin K sepertinya malas mencari tahu.
Salah Kaprah Penjudulan
Kompas yang saya kenal sangat peduli pada bahasa Indonesia. Termasuk "anak-anaknya", kecuali Kompasiana. Saya sebut Kompas peduli pada bahasa Indonesia karena begitu fakta yang ada. Setiap Sabtu, koran Kompas memajang kolom bahasa. Itu sekadar contoh.