Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Pekan dan Minggu di Mata Lema

24 September 2020   06:59 Diperbarui: 24 September 2020   07:07 341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumen Olah Pribadi
Dokumen Olah Pribadi
Dengan begitu, minggu dan pekan dapat bertukar tempat sepanjang berurusan dengan "jangka waktu selama tujuh hari itu". Misal: (1) Ia pulang pekan ini; (2) Ia pulang minggu ini. Atau: (3) Pekan lalu kamu bilang begini; (4) Minggu lalu kamu bilang begini.

Selain itu, kata Lema, kita juga bisa memakai akhir pekan atau akhir minggu untuk mengganti kata weekend. Tidak usah keminggris, katanya. Jadi: (5) Selamat berakhir pekan; (6) Selamat berakhir minggu. Contoh (5) sudah lazim kita dengar, sedangkan contoh (6) masih jarang dipakai.

"Berarti dalam perkara waktu, pekan dan minggu sama saja?" Lema tidak menjawab pertanyaanku. Ia memelotot. Jika sudah begitu, ia sebenarnya mau berkata "kamu nyimak enggak, sih?" atau "aku sudah ngomong begitu dari tadi, bahlul".

Dokumen Olah Pribadi
Dokumen Olah Pribadi
Lema kembali mencerocos. Kalau sudah bicara, remnya mendadak blong. 

Tidak ada hari Pekan, katanya. Sebab, pekan tidak bisa menggantikan minggu dalam urusan "nama hari". Tidak ada juga Minggu Budaya, katanya. Sebab, minggu tidak bisa menggantikan pekan dalam perkara "pesta atau kegiatan yang digelar untuk memperlombakan atau memamerkan sesuatu".

Pekan, kata Lema, kemungkinan besar berakar dari bahasa Melayu. Pekan juga memiliki arti 'pasar'. Contoh: (7) Mama ke pekan untuk  membeli telur; (8) Papa berdagang telur di pekan. Lo, berarti Mama membeli telur di kios Papa? Lema menggeleng. Mereka berbeda pekan, katanya.

Dokumen Olah Pribadi
Dokumen Olah Pribadi
Lema memegang perutnya. Alisnya bertaut. Keningnya mengerut. Mimiknya seperti seseorang yang tengah menahan sakit gara-gara perutnya melilit-lilit. "Kamu sakit?" Ia menggeleng. Terdengar lagu keroncong melantun pelan dari perutnya.

Ternyata Lema sedang lapar. Ah. Padahal, aku ke sini dengan alasan yang sama. Aku berharap Lema punya segelas kopi dan sepiring camilan kenangan yang baru saja dihangatkan. Ternyata tidak ada. Ah. Korona bikin susah. Korona memaksa Lema dan penulis recehan sama-sama menahan lapar.

Pret. Bunyi kentut mengoyak angkasa. Sepertinya cawat Lema sobek akibat terdorong angin berbau menyakitkan hidung. Ia buru-buru berdiri dan menghilang di balik semak-semak. Ia pasti mencari jamban. Batas sakit perut gara-gara lapar dan ingin berak memang sangat tipis. Alangkah!

Salam takzim, Khrisna Pabichara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun