Selain itu, kata Lema, kita juga bisa memakai akhir pekan atau akhir minggu untuk mengganti kata weekend. Tidak usah keminggris, katanya. Jadi: (5) Selamat berakhir pekan; (6) Selamat berakhir minggu. Contoh (5) sudah lazim kita dengar, sedangkan contoh (6) masih jarang dipakai.
"Berarti dalam perkara waktu, pekan dan minggu sama saja?" Lema tidak menjawab pertanyaanku. Ia memelotot. Jika sudah begitu, ia sebenarnya mau berkata "kamu nyimak enggak, sih?" atau "aku sudah ngomong begitu dari tadi, bahlul".
Tidak ada hari Pekan, katanya. Sebab, pekan tidak bisa menggantikan minggu dalam urusan "nama hari". Tidak ada juga Minggu Budaya, katanya. Sebab, minggu tidak bisa menggantikan pekan dalam perkara "pesta atau kegiatan yang digelar untuk memperlombakan atau memamerkan sesuatu".
Pekan, kata Lema, kemungkinan besar berakar dari bahasa Melayu. Pekan juga memiliki arti 'pasar'. Contoh: (7) Mama ke pekan untuk  membeli telur; (8) Papa berdagang telur di pekan. Lo, berarti Mama membeli telur di kios Papa? Lema menggeleng. Mereka berbeda pekan, katanya.
Ternyata Lema sedang lapar. Ah. Padahal, aku ke sini dengan alasan yang sama. Aku berharap Lema punya segelas kopi dan sepiring camilan kenangan yang baru saja dihangatkan. Ternyata tidak ada. Ah. Korona bikin susah. Korona memaksa Lema dan penulis recehan sama-sama menahan lapar.
Pret. Bunyi kentut mengoyak angkasa. Sepertinya cawat Lema sobek akibat terdorong angin berbau menyakitkan hidung. Ia buru-buru berdiri dan menghilang di balik semak-semak. Ia pasti mencari jamban. Batas sakit perut gara-gara lapar dan ingin berak memang sangat tipis. Alangkah!
Salam takzim, Khrisna Pabichara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H