Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Kepada Kesendirian

20 September 2020   19:14 Diperbarui: 20 September 2020   19:50 287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: additudemag.com

[Kutulis puisi ini ketika kudengar kabar tentang bilik isolasi mandiri yang pintunya ternganga untukmu. Aku tiba-tiba lupa cara berdoa. Pori-pori lidah dan kulit bibirku mendadak ngilu. Maka berdendanglah puisi ini, tiba di telingamu seperti merdu suara ibu bernyanyi sebelum kamu tidur, dan lesap ke hatimu--tempat sakit dan sembuh duduk berdampingan] 

Kita pernah bercakap-cakap tentang tabah, kota yang tertidur sebelum larut malam tiba, lampu jalan yang mendadak redup, dan doa yang tumpah di atas sajadah. Aku ingat percakapan itu. Aku ingat semua. Aku juga ingat caramu menatap luka, memandang pilu yang terbenam di dada para penyapa derita, dan melihat segala-gala dengan mata hati yang terbuka. Aku tahu, engkau masih orang yang sama.

Kita pernah berbincang-bincang tentang gelisah, berita-berita yang demam mengabarkan cemas dan menguburkan sabar, televisi pemuja sendu yang kita biarkan terus menyala, serta hening kesendirian yang menenangkan. Aku ingat perbincangan itu. Aku ingat semua. Aku juga ingat caramu berteman dengan kesendirian, bersahabat dengan keheningan, berintim-intim dengan kesabaran, dan berpelukan dengan air mata. Aku tahu, engkau masih orang yang sama.

Kita pernah berkata-kata tentang kita yang tidak boleh membuang waspada, korona yang lajunya di luar kendali kita, vaksin yang belum juga ditemukan, serta orang-orang yang kehilangan gigih dan tangguh. Aku ingat perkataan itu. Aku ingat semua. Aku juga ingat caramu bersimpuh, merumahkan harapan dan menanggakan doa, serta menyerahkan semuanya kepada Dia Yang Mahacinta. Engkau tiba di kamar tapa. Engkau tidak pernah sendirian. Orang-orang yang menyayangimu terus memutar doa bagimu. Aku tahu, engkau masih orang yang sama.

[Kurampungkan puisi ini sebelum mataku tahu cara menghentikan ruah air mata. Aku tiba-tiba lupa bagaimana seharusnya mengatakan tabah kepadamu. Lidahku kelu. Tenggorokanku kering. Kemudian, doa-doa berhamburan ke angkasa. Pipiku makin basah. Doaku makin hangat] 

Bilik Tabah, 20/09/2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun