Bukan Ahok namanya kalau kurang fasih menyulut ricuh. Mantan Gubernur DKI Jakarta itu memang ahli dalam seni menohok. Tonjokannya dahsyat. Kata-katanya maut. Sekali berkomentar, ratusan orang tersodok.
Setelah membongkar jeroan PT Pertamina yang sempat membuat jenggot banyak orang terbakar, Ahok kembali menabok banyak pihak lewat pilihan kata yang spesifik dan unik. Kalau saya jadi dirut di Pertamina, kadrun-kadrun bakal bikin gaduh lagi di Republik ini. Begitu pernyataan Ahok.
Sepak terjang Ahok memang mencengangkan. Lidahnya bagai bilah pedang yang setiap saat siap menyabet siapa saja. Blak-blakan. Terang-terangan. Kasar. Berangasan. Ia mahir merebus darah orang-orang hingga mendidih. Tidak heran jika banyak orang yang tidak menyukainya.
Ahok punya pakem komunikasi sendiri. Pakem itu tampaknya sudah saklek dan ajek. Tidak bisa diganggu gugat lagi. Hatta, ia bentuk pola ujar yang seolah-olah sengaja dijauhkan dari wajar. Namun, tersirat jua hasrat pemburu sensasi atau pemulung atensi.Â
Padahal, tokoh publik sebaiknya tidak asal mengoceh. Apalagi kalau tokoh publik itu berada di pucuk lembaga, institusi, atau instansi yang dibiayai oleh publik. Pada saat seorang tokoh berbicara, meski atas nama pribadi, nama lembaga akan selalu terbawa-bawa.
Ada garis tebal yang memisahkan Ahok dan Abdul. Ahok seorang komisaris di Pertamina, ia digaji dengan menggunakan uang rakyat. Abdul seorang penulis di Kompasiana, ia dibayar tidak seberapa oleh pembaca dari jumlah klik yang perlu lebih dari sekadar seberapa. Posisi Ahok selaku tokoh publik dan Abdul selaku tokoh Kompasiana sangat jauh berbeda.
Selaku tokoh publik, Ahok mesti mengambil jarak dari pola komunikasi bergajul. Ya, semacam corak berkomunikasi yang sering memancing kegeraman dan kemarahan banyak pihak. Bolehlah Ahok bersiut bagai sesiur angin dalam membongkar borok di Pertamina, sebab memang itu tugasnya. Namun, tidak usah menyeret-nyeret satu pihak yang tidak ada relevansinya dengan borok itu.
Bagaimana dengan Abdul? Sudahlah, itu tamsil belaka.
Komunikasi itu melibatkan dua pihak, yakni (1) komunikator (penyampai pesan), dan (2) komunikan (penerima pesan). Pesan yang ingin disampaikan Ahok adalah banyak orang di Pertamina yang getol main selonong demi kursi direksi dan melalap gaji buta. Pesan itu bisa diterima dengan baik oleh rakyat selaku komunikan.
Bagaimana dengan kadrun heboh? Di situ letak ceteknya pola komunikasi yang dibangun oleh Ahok. Begitu ia serempet kadrun, saat itu juga Ahok memperlihatkan ketakberterimaannya diunjukrasai banyak orang beberapa tahun lalu. Artinya, ia mengebiri sendiri pendapat "sanggup berjiwa besar" yang selama ini didengang-dengungkan para Ahoker.
Komunikasi publik mesti berpijak pada aspek sosial, sebab setiap masyarakat punya adat, budaya, nilai-nilai, dan norma-norma. Di mana bumi dipijak, di situ jejak menapak. Di mana langit dijunjung, di sana awan menggantung. Artinya, komunikator harus paham (1) dengan siapa ia berbicara, (2) apa yang ia bicarakan, dan (3) bagaimana cara membicarakannya.