Etika mendahului politik, sedangkan politik melengkapi etika. ~ Aristoteles
Andai Puan Maharani mengindahkan petuah Aristoteles di atas, beliau tidak akan mengeluarkan pernyataan yang berpotensi menyinggung perasaan warga Sumatera Barat. Ternyata tidak. Puan abai pada dampak psikologis akibat pernyataannya. Di situlah, menyitir Aristoteles, posisi etika dalam berpolitik amat vital.
Persoalannya sekarang, Puan sudah menyulut gaduh. Pernyataan beliau tentang Sumatera Barat dan Pancasilais telanjur memicu ricuh. Ibarat nasi kepalang menjadi bubur. Kata-kata yang sudah terlontar mustahil ditarik kembali. Satu-satunya jalan untuk memadamkan api kemarahan adalah dengan meminta maaf.
Adakah Puan berani meminta maaf? Jelas bukan soal berani atau tidak, melainkan mau atau tidak. Pada sisi lain, Puan dikitari oleh para pembela yang justru menambah runyam alih-alih membuat adem. Itu terlihat dari diskursus, percakapan di ruang publik, dan debat kusir berkepanjangan.
Belakangan malah bermunculan pembelaan yang terkesan membabi buta. Seolah-olah Puan adalah manusia yang tidak berpotensi melakukan kesalahan. Aksi dan dalih para pembela lebih cenderung menjilat daripada menyuguhkan alasan yang masuk akal.
Etika Politik
Frans Magnis Suseno, dalam Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern (1988: 198), menyatakan bahwa politisi harus bertanggung jawab secara argumentatif dalam atau atas perilaku politiknya. Siapa yang menebar benih tengkar mestinya dia pula yang memupus benih itu, bukan orang lain yang muncul dan memupuk benih tikai itu.
Mengacu pada pendapat Frans, suka tidak suka Puan sendirilah yang mesti tampil di hadapan publik untuk mempertanggungjawabkan pernyataannya. Jika meminta maaf berat ia lakukan, sampaikanlah alasan kenapa pernyataan itu tercuat. Bersembunyi di balik punggung pembela justru dapat memacu prasangka buruk.
Selaku Ketua DPR RI, sangatlah elok apabila Puan menunjukkan sikap sebagai negarawan. Eksistensi negara, dalam kacamata Thomas Aquinas, adalah eksistensi yang bersumber dari kodrat manusia. Dianggap belum Pancasilais jelas menyinggung kodrat masyarakat Sumbar sebagai manusia. Itu adalah realitas perasaan yang rasional.
Selaku petinggi partai, sangatlah arif jikalau Puan mengedepankan etika dalam berpolitik. Apabila etika hilang dari kancah politik maka praktik politik positivistik alias bebas nilai bisa mengemuka. Praktik politik bersifat Machavellistis seperti itu mesti dihindari, karena menjadikan politik sebagai kendaraan untuk melakukan segala sesuatu.
Apalagi jika pernyataan Puan dikaitkan dengan kegagalan PDIP dalam pertarungan politik di Sumbar. Orang-orang bisa saja menanggapi bahwa pernyataan Puan adalah percik kekecewaan akibat “PDIP gagal berkuasa” di Sumbar. Lebih parah lagi jika orang menganggap Puan sedang memantik letik keputusasaan akibat “PDIP gagal menguasai” Sumbar.