"Ma, rumah tetangga kita kotor, ya?" tanya seorang bocah kepada ibunya. Bocah itu berjinjit agar dapat melongok di jendela. "Coba lihat, Ma, cat rumahnya kusam sekali."
Sang Ibu ikut melongok dan tersenyum. Ia tidak menjawab pertanyaan anaknya. Ia malah bergegas mengambil topo di bawah meja makan, kemudian kembali ke sisi anaknya, lalu mengelap kaca jendela.
Setelah kaca jendela bersih, si bocah kembali bersijingkat. "Wah, rumah tetangga kita sudah bersih lagi." Anak itu tersenyum riang sambil mengacungkan jempol kepada ibunya.
Sesuatu yang kita lihat memang tergantung pada sudut pandang kita, dari sisi mana kita menilainya, dan bagaimana kita menyikapi sesuatu itu. Kasus "rumah tetangga yang kotor" hanyalah amsal belaka. Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering kelewatan menilai orang lain berdasarkan sudut pandang kita yang, tanpa kita sadari, kadang-kadang sempit dan sesak.
Atas dasar logika sederhana itulah saya mencoba menikmati kesemrawutan iklan di akun Kompasiana saya. Berselancar di Kompasiana, entah dengan laptop entah memakai gawai, hasilnya selalu sama: seperti jalan raya yang sangat padat karena lalu lintas macet.
Tentu ada sebab sehingga akun saya dipadati dan disesaki iklan. Beberapa bulan lalu saya sempat tidak mengalami kepadatan dan kesesakan iklan, tetapi bulan ini sudah kembali bikn sesak mata dan bikin mumet otak. Dua bulan lalu saya menggunakan fasilitas uji akun premium. Hasilnya. tokcer. Iklan seperti kutu dan kecoak yang dibasmi hanya dengan sekali semprot jampi uji coba.
Setelah masa uji premium itu habis, jiwa periset saya kumat. Kambuh minta ampun. Terbetik hasrat ingin menakar seberapa mengganggu iklan-iklan kunyuk itu sehingga saya mesti mengambil jalan pintas dengan cara membayar pestisida rancak bernama "Kompasiana Premium". Â
Alih-alih terusik, iklan-iklan bermartabat beruntulan seperti benjol-benjol di kulit akibat dicium nyamuk. Adakalanya menyebalkan, adakalanya menggelikan. Namun, lebih sering sebal daripada geli. Ndilalah, otak saya malah memutar imajinasi aneh yang sungguh membuat batin saya terbelalak. Saya malah mencari tahu tetek bengek yang diuarkan oleh aneka rupa iklan itu.
Pil Anti-Impotensi. Inilah iklan yang sungguh menggelitik. Setelah membuang segala prasangka buruk di kepala, saya tetap saja tercengang-cengang. Bukan apa-apa. Saya pikir, ada kemungkinan banyak Kompasianer yang membutuhkan iklan ini. Tentu saja Kompasianer yang berkelamin jantan. Maklum, impotensi adalah penyakit rahasia yang dapat menurunkan dan membangkrutkan martabat lelaki.
Pada satu iklan yang sempat melintas di akun Kompasiana saya tertera maklumat yang sungguh ajaib. Cukup dengan menenggak dua butir pil, penderita disfungsi ereksi alias impoten alias ejakulasi dini akan tersenyum puas sambil berkata "sayonara mati suri".