Lambe Turah. Ini bukan soal nama sebuah akun media sosial yang kerap mengumbar aib orang, melainkan tindak tutur kawanan aktivis media sosial dari Komunitas Gibah Virtual.
(1)
Lambe turah berasal dari bahasa Jawa. Lambe berarti "bibir", sedangkan turah bermakna berarti "sisa". Jadi, sisa-sisa bibir atau semacam orang yang tidak menyisakan kata-kata baik lagi di bibirnya. Lambe turah dapat dimaknai sebagai orang yang gemar nyinyir, doyan mengembus isu, atau senang mengumbar aib orang.
Pada zaman dahulu, jauh sebelum era digital dan media sosial menginvasi jari-jemari warganet, perilaku menyinyiri tindak tanduk orang atau mengumbar aib orang biasanya hanya berlaku atau berlangsung di area sempit. Kadang di tangga saat kutu-mengutui, kadang di sumur saat cuci-mencuci.
Sekarang aktivis gibah makin canggih. Kesibukan menebar desas-desus sudah bermigrasi dari area sempit ke ruang publik yang dapat dikonsumsi orang banyak. Evolusi dunia digital yang nirbatas menyeret pelaku gibah ke dalam ranah pergunjingan yang seolah-olah tidak memiliki sekat apa pun.
Dunia pertemanan sontak berubah. Seseorang yang belum tentu kenal tiba-tiba menjadi sangat kenal sampai-sampai menguliti aib orang lain. Orang-orang semacam itu seakan-akan bersih dari noktah noda. Mereka seperti suci dari deru dosa.
Gerakan gibah berjamaah di media sosial nyaris mendekati titik masif, intensif, dan sistematis. Apalagi menjelang pesta demokrasi. Setiap calon yang hendak maju ke panggung tarung pasti mempunyai basis pendengung (buzzer). Ada yang berbayar, ada yang murni simpatisan. Baik yang berbayar maupun yang simpatisan lazimnya bermental baja, militan, dan berani malu.
Tidak heran jika pesta pilih-memilih pemimpin menjadi ajang berjangkitnya penyakit sirik, hasut, dan dengki. Desas-desus jadi sarapan, gosip jadi menu santap siang, dan aib orang lain jadi sajian makan malam. Singkat cerita, media sosial diguyur caci maki.
(2)
Fenomena komunitas lambe turah di media sosial bakal kembali marak. Ajang Pilkada 2020 sudah hampir tiba. Akun-akun penghambur desas-desus sudah mulai menetas. Ada yang memakai potret sendiri sebagai foto profil, ada yang menggunakan foto orang lain. Identitas palsu bakal jadi trend lagi.
Itu fakta. Realita. Kenyataan itu senada dengan gagasan tentang simulakra yang digaungkan oleh Baudrillard dalam Simulacra and Simulation (1994). Orang-orang bertopeng berkerumun di dunia maya. Mereka tutupi realitas. Mereka sebenarnya tidak mencerminkan realitas, tetapi ajaibnya kerap menjadi acuan kabar.
Ndilalah, netizen ternyata menyukai realitas semu. Gonjang-ganjing yang diracik dari desas-desus murahan dilahap beramai-ramai, disebar tanpa tedeng aling-aling, dibagikan seolah-olah barang mewah yang berharga mahal, dan warganet akhirnya kesulitan memisahkan ilusi dari realitas.
Pilgub teranyar di Jakarta, misalnya, menjadi ajang tarung gosip. Tidak ada perdebatan isu aktual. Tidak ada perhelatan duel program. Agama jadi barang niaga yang diperjualbelikan demi kursi kekuasaan, suku jadi komoditas cemooh, fisik jadi bahan risakan, dan masa lalu yang sudah memfosil pun dibangkitkan dari alam kubur.
Fenomena gerakan penyinyir kembali menggema di media sosial tatkala Pilpres edisi terbaru. Gosip murahan tiba-tiba mendapat tempat mulia di panggung pertarungan. Kubu sana seolah-olah mati rasa, kubu sini seakan-akan mati hati. Bersaudara tidak saling menyapa, bertetangga tidak saling berbasa-basi.
Panggung Pilkada yang mestinya menjadi ajang baku adu program, beralih fungsi menjadi kontes adu borok. Aib dijadikan bahan infografis, lalu disebarluaskan melalui internet sebagai materi kampanye visual instan.
Tidak ada adu visi dan misi. Tidak ada tarung gagasan. Tidak ada debat tentang akan dibawa ke mada daerah tercinta, apa yang mesti dilakukan demi kemajuan tanah kelahiran, siapa yang harus urun andil dalam pembangunan daerah. Semua itu kalah menarik dibanding "si anu dulu pernah begitu" atau "si itu dulu sudah begitu".
Warganet pun terkotak-kotak. Di luar jaringan bertengkar tiada habis, di dalam jaringan jauh lebih parah. Masih subuh sudah tukaran hoaks. Belum siang sudah berdebat kusir. Menjelang petang tukaran kado berisi hinaan. Benar-benar memuakkan.
(3)
Smelser menyatakan bahwa ketegangan struktural merupakan salah satu faktor pemantik perilaku kolektif. Ketegangan struktural itu terjadi karena situasi sosial, seperti keberagaman agama, suku, ideologi, dan ras.
Ada juga regangan struktural yang muncul karena penganut agama atau etnik tertentu merasa lebih dominan dibanding yang lain. Regangan struktural berakar pada kesenjangan antaretnik atau antaragama.
Terakhir, kepercayaan struktural yang dibangun di atas "tanah rawan bencana". Beda sedikit langsung gempa, beda banyak seketika roboh. Desas-desus mudah dipercaya kebenarannya, kemudian disebarluaskan.
Media sosial lantas menjadi media penyebarluasan kecurigaan dan kecemasan, mobilisasi opini, atau materi kampanye hitam. Semua orang kontan kehilangan saringan: buat apa sesuatu diujarkan, untuk siapa sesuatu dikabarkan, serta bagaimana sesuatu disampaikan.
Hakikat awal tujuan kehadiran media sosial, yakni sebagai pertukaran informasi, ajang memelihara tali persahabatan sosial dan kekerabatan, negosiasi status dan pengambilan keputusan, serta bersama-sama merayakan kegembiraan akhirnya perlahan-lahan tergerus.
Bahasa yang santun dan beradab seketika ditukar dengan model sarkastik. Mereka tidak tahu bahwa sarkastik berasal dari kata sifat sacer-sacris. Dalam bahasa Latin berarti "tajam". Jadi, sarkastik berarti "sifat dari sesuatu yang tajam seperti melukai, menyakiti, dan lain-lain".
Sarkastik diungkapkan dengan sarkasme. Kata ini berakar dari sarkasmos atau sarkazo. Dalam bahasa Yunani berarti "daging atau hati yang tertusuk". Singkat kata, sarkazo adalah "sesuatu yang ditusukkan dalam-dalam sehingga menyebabkan rasa sakit yang mendalam".
Keraf dalam Diksi dan Gaya Bahasa (2004: 143) menyatakan bahwa sarkasme diturunkan dari kata Yunani, yakni sarkasmos--yang lebih jauh diturunkan dari kata kerja sakasein---dengan arti "merobek-robek daging seperti anjing menggigit bibir karena marah".
Sementara itu, Cummings (2007: 15) menyatakan bahwa kata sarkazo kemudian lebih dikenal daripada sarx-sarkos yang berarti "menyindir dengan tajam atau sindiran yang tajam".
Tentu kita semua paham bahwa melukai atau menyakiti adalah tindakan yang kejam, entah lewat perbuatan entah melalui perkataan. Bentuknya menyindir, hasilnya menyakiti. Modelnya meledek, hasilnya melukai. Ya, sama saja.
Orang lain makin terluka, hati kita makin gembira. Luar biadab!
(4)
Pilkada 2020 sudah di depan mata. Desas-desus sebentar lagi akan menjadi wabah. Pakar gosip akan segera beraksi. Netizen yang budiman sebaiknya berkemas sejak sekarang. Persiapkan daya tahan batin menghadapi serbuan pandemi aib.
Komunitas gibah virtual telah mewabah sehingga media sosial mengalami gagal fungsi. Para juru gosip yang lahir dari rahim kepentingan memeriahkan media sosial sebagai tempat untuk  saling menyindir, mengolok, dan mempermalukan satu sama lain.
Sisi gelap media sosial akhirnya lebih dominan daripada sisi terangnya. Para eksportir hoaks membagi kabar miring dan kabar buruk tanpa menimbang hati dan perasaan orang atau pihak lain. Perilaku menindas lantas menjadi kebiasaan.
Manusia beradab makin berkurang, sementara manusia biadab terus bertambah. [kp]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H