Beberapa abad lalu, jauh sebelum agama samawi tiba di Nusantara, sebuah tradisi sastra lisan tumbuh subur di tengah masyarakat Makassar.
Namanya royong. Secara sederhana berarti nyanyian. Penyaji royong disebut paroyong. Pada mulanya royong dilantunkan di kalangan khalayak ramai. Bayi di dalam rahim disuguhi royong. Balita di ayunan ditidurkan bersama dendang royong. Â
Lambat laun royong diserap istana dan menjadi entitas politik kaum elite kerajaan. Sejak itu, royong hanya boleh ditanggap, ditonton, dan dinikmati oleh kalangan bangsawan. Tradisi sastra lisan yang semula subur di tengah rakyat jelata kemudian hidup di kitaran istana. Kaum hamba tidak boleh lagi menanggap rupa-rupa royong di gubuk mereka.
Seniman istana menentukan tata cara pertunjukan royong. Pertunjukan royong mesti diisi oleh beberapa paroyong. Paroyong hanya boleh dilantunkan oleh perempuan sepuh. Hitungannya harus ganjil. Bisa tiga, lima, tujuh, atau lebih. Busananya harus hitam-hitam. Tempat pentas pun mesti di baruga caddi (pendopo kecil) yang kadang dibuat khusus untuk paroyong.
Bahkan matra syairnya pun diatur, seperti berapa suku kata dalam satu baris dan berapa baris dalam satu syair. Ada aturannya. Langgam dan nada terserah paroyong, tetapi aturan main pertunjukan tidak boleh dilanggar. Penanggap paroyong juga harus menyediakan jajjakkang (sesajen) ketika ammuntuli (menjemput) para paroyong.
Jika aturan main itu dilanggar alamat dapat malapetaka. Penanggap pun hanya boleh dari kaum bangsawan. Ada hukum kasiratangngang (kederajatan). Jangankan strata ata (kelas hamba), golongan tumaradeka (kelas bebas) saja tidak boleh.
Mengulik Royong
Pada dasarnya royong adalah doa. Akroyong (melakukan royong) berarti berdoa. Royong pakkape sumangak (royong pemanggil sukma), misalnya, berisi doa agar bayi di dalam rahim ibunya tumbuh sehat dan lahir dengan selamat. Bahkan pelantikan raja di Kerajaan Gowa dan kawasan kerajaan palili (taklukan) dianggap tidak sah tanpa lantunan royong.
Itu sebabnya royong dianggap sakral. Pertunjukan royong sudah ditahbiskan sebagai ritual. Tidak heran jika kemudian pertunjukan sastra lisan royong biasanya dirangkaian dengan daur hidup di tengah masyarakat. Syukuran lahiran, hajat sunatan, pesta perkawinan, atau selamatan tujuh bulanan.
Setiap paroyong biasanya memiliki langgam khas. Jarang sekali kita temukan langgam royong yang serupa dari paroyong berbeda. Kreativitas personal sangat menentukan kualitas sajian. Namanya juga sastra lisan, rata-rata syair royong dihafal oleh paroyong. Bukan ditulis di lembar lontar.
Akibat aturan main yang ketat, pertumbuhan royong mulai terhambat. Pakem hanya boleh ditanggap oleh kalangan istana, kaum bangsawan, dan golongan tusiratang (orang sederajat) itulah yang membuat royong tidak sesubur sebelumnya. Di sisi lain, derajat dan martabat paroyong terangkat. Uang hasil tanggapan mampu menghidupkan dapur paroyong.