Royong akhirnya menjadi alat legitimasi kekuasaan.
Pewarisan Royong
Semasa bersekolah di SMKI Negeri Ujung Pandang, salah satu pelajaran yang saya sukai adalah sastra daerah. Kira-kira tahun 1992 saya sempat menemani guru teater saya, Siradjuddin Daeng Bantang, menemui seorang paroyong di Galesong Utara, Kab. Takalar, Sulawesi Selatan.
Bollo Daeng Badji namanya. Sampulungan nama kampung tempat paroyong karismatik itu. Beliau sudah sepuh. Meski begitu, getar suaranya tetap berkarisma. Syahdunya hingga ke tulang sumsum. Merdunya mampu menembus sukma. Ketika beliau berdendang, bulu-bulu kuduk saya kompak berdiri.
"Royong diwariskan hanya kepada anak atau kemenakan perempuan," ujar beliau dalam tempo pelan dan lembut. "Tidak bisa sembarangan waktunya. Harus menunggu wangsit leluhur."
Rekaman percakapan itu tersimpan dengan baik di batok kepala. Terkait pewarisan atau pelimpahan royong, konon, dipenuhi aura mistis. Jika saatnya tiba, sebuah wadah bernama bakuk karaeng (bakul pusaka) yang terbungkus kain putih akan muncul di sekitar ahli waris.Â
Kotak itu berisi peralatan musik yang digunakan untuk mengiringi pertunjukan royong. Isinya anak baccing, kancing, dan lea-lea.
Metode pewarisan yang berbasis keluarga itu pula yang menjadi faktor penghambat perkembangan royong. Bayangkan jika anak atau kemenakan pewaris menolak menjadi penerus tradisi royong. Jika itu terjadi, satu paroyong tidak terganti. Tidak ada penerus. Tradisi terputus. Sastra lisan terancam punah.
Nasib Royong Hari Ini
Proses pewarisan royong yang eksklusif membuat keran regenarasi royong tersumbat. Belum lagi, royong bukan termasuk bagian dari sastra lisan Makassar yang diajarkan secara intensif di sekolah dasar atau menengah.
Jadi, tidak heran kalau anak milenial sama sekali asing pada royong. Sistem pendidikan kita lebih mengutamakan bidang studi tertentu. Adapun seni budaya lokal dan tradisonal tidak mendapat tempat di dalam kurikulum.Â
Dampaknya, pelajar tidak akrab dengan budaya atau tradisi lokal. Belajar main kecapi dianggap norak, sedangkan main gitar dianggap modern.
Metode pewarisan dan sistem pendidikan membuat keran regenarasi paroyong makin macet. Gagang putarannya malah karatan. Sekarang, di tanah rantau, saya malah sudah jarang mendengar kiprah paroyong.Â
Kalaupun ada, biasanya seniman yang berkreasi secara inovatif untuk mengawetkan dan melestarikan royong. Itu pun jumlahnya bisa dihitung jari. Saya teringat dua orang guru informal, Syarifuddin Daeng Tutu dan Chaeruddin Hakim. Keduanya menempuh jalan sunyi demi melestarikan royong.
Saya sendiri sering mengadopsi royong ketika tampil membaca puisi. Bahkan beberapa kali tampil sebagai pakkiok bunting dengan menggunakan langgam royong. Lumayan. Ditanggap sebagai paroyong laki-laki, bagi saya, merupakan bagian dari pengabadian sastra lisan Makassar sekalipun jauh dari tanah kelahiran.