Babak akhir Pilpres 2019 sudah di depan mata. Siang ini, Mahkamah Konstitusi akan memutuskan memenuhi atau menolak gugatan Tim Kuasa Hukum (TKH) Prabowo-Sandi. Riak kembali muncul ke permukaan.
Selaku pemohon dengan petitum gugatan dari 7 butir menjadi 15 butir, jelas TKH Prabowo-Sandi berharap banyak. Selaku pemohon dengan pengajuan gugatan yang semula puluhan halaman menjadi ratusan halaman, jelas TKH Prabowo-Sandi berharap banyak.
Dahnil Simanjuntak, Koordinatar Juru Bicara BPN, sangat yakin gugatan konco-konconya diterima. Pada sisi lain, Bambang Widjojanto selaku Ketua TKH Prabowo-Sandi mengaku sulit membuktikan tuduhan kecurangan tersruktur, sistematis, dan masif. Bahkan dilansir Kompas.com, Pak BW menyatakan bahwa hanya intitusi negara yang bisa membuktikan kecurangan yang mereka tuduhkan.
Ini sungguh dilematis. Banyak meminta, tetapi mengakui sendiri betapa mereka susah menyajikan alat bukti yang kuat. Lebih tepatnya begini. Banyak unjuk gigi, tetapi kurang unjuk gigih. Lebih menghunjam lagi: hasrat besar tenaga kecil.
Keyakinan BPN dan keraguan TKH Prabowo-Sandi sedikit pun tidak melemahkan semangat pendukung. Kemarin misalnya, dikutip dari Tribunnews, Persatuan Alumni (PA) 212 turun ke jalan menunjukkan dukungan.
Hari ini mereka berencana kembali turun ke jalan. Bodoh amat Polri tidak mengizinkan. Mereka tebalkan kuping. Tujuan mereka turun ke jalan jelas untuk menunjukkan empati. Mereka pertegas empati pada "siluet kegagalan Prabowo yang hampir tiba".
Empati pada Pihak yang Mungkin Kalah
Ustaz Asep Syarifudin menyerukan agar seluruh alumni demonstrasi akbar 212 kembali memperlihatkan taring. Yang kemarin (Rabu, 26/6/2019) datang supaya mengajak yang lain. Biar lebih ramai. Biar target sejuta umat terpenuhi. Biar empati mereka kepada Pak Prabowo tampak lebih berhati.
Tidak. Kemasan kata lewat frasa "bela agama" jangan terlalu diambil hati. Itu basa basi belaka. Dengan kata lain, sekadar simbol supaya kesannya lebih religius. Agak sumir jika sengketa perselisihan hasil pemilu dikait-kaitkan atau dicocok-cocokkan dengan gairah membela agama.
Apakah para Hakim Mahkamah Konstitusi sedang menghina agama? Jika ya, bagian mana dari agama yang dihina? Jika ada, seperti apa bentuk penghinaannya? Rasa-rasanya ketiga pertanyaan ini sukar bersua jawaban. Dengan kata lain, bela agama tidak lebih dari permainan kata belaka.
Itulah sebabnya saya menyebut aksi PA 212 merupakan ejawantah rasa empati kepada sokongan mereka. Betapa tidak. Bahkan Pak BW saja ragu bakal menang di sidang PHPU. Bagi pendukung sejati dan sehati, mustahil membiarkan Pak Prabowo sendirian menanggung derita kalah.
Terkait empati, alumni aksi 212 paham benar bahwa adalah "emosi kuat atau gairah membara", seperti makna dalam kata asalnya, empathia, dari bahasa Yunani. Mereka pun pasti khatam soal empati, yang dalam bahasa Jerman disebut einfuhlung atau "perasaan menjadi". Itulah yang tengah mereka perlihatkan: pameran empati.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!