Seseorang yang pernah berjaya di masa lalu cenderung ingin mengembalikan kejayaan itu. Titiek Soeharto juga begitu.
Belakangan ini, jagad media sosial riuh karena celoteh emak-emak yang pernah jaya pada era Orde Baru. Mantan istri Capres 02 itu memang lumayan rajin berkicau di Twitter. Tentu saja banyak cuitannya yang menangguk keruh dan menanggung kisruh.
Netizen pendukung Pak Prabowo jelas menyukai celutukan beliau, tidak peduli salah atau keliru. Kok, salah atau keliru?Â
Ah, itu analisis receh saya. Jadi, tidak usah ditanggapi serius. Apalagi sangat serius. Meski begitu, saya tertarik menyisir alir pikir Ibu Titiek. Memang menarik karena beliau seolah sedang berdiri tegak di depan cermin, kemudian komentar-komentarnya seakan tertuding kepada dirinya sendiri.
Malah ada indikasi kurang ajar, kualat, atau durhaka, lantaran Ibu Titiek dengan sengaja menahbiskan bokapnya sebagai "pelaku kecurangan". Persis seperti adiknya, Tommy Soeharto, yang pernah mendaulat babenya sebagai "mahaguru korupsi".
Mengapa saya menyebut beliau kurang ajar kepada Presiden RI kedua? Kenapa pula saya menyatakan beliau kualat? Bagaimana bisa Ibu Titiek saya tuding sebagai anak durhaka? Oke, saya beberkan alasan saya dengan lugas dan tandas.
Menilai Pak Harto Curang
Pada Jumat (17/5) di Rumah Perjuangan Rakyat Jakarta, Ibu Titiek menyatakan bahwa Pemilu 2019 lebih curang dibanding Pemilu pada masa Pak Harto.
Titik tilikan makna pesan bukan pada pemilu tahun ini, melainkan pada tahun pembanding. Tanpa tedeng aling-aling, Ibu Titiek mengakui bahwa pemilu pada era Orde Baru itu curang.
Saya, sebagai generasi kelahiran 1970-an, ikut merasakan geletar kecurangan itu. Saya melihat sendiri betapa pemilu pada zaman keemasan Pak Harto sudah diketahui pemenangnya jauh sebelum pemilu berlangsung.