Umat Islam di seluruh belahan dunia sedang berbahagia. Ramadan, bulan sarat berkah yang selalu dinanti-nanti, disambut dengan hati gembira. Kebahagiaan dan kegembiraan itu dirayakan sepenuh-penuh cinta.
Menjelang Ramadan, orang-orang berziarah ke makam kerabat. Doa-doa membubung ke langit. Air mata rindu menguap dan mengepul ke angkasa. Yang hidup mendoakan sanak yang sudah tiada. Doa itu menjelma sebagai jembatan penghubung antara yang ditinggalkan dan yang meninggalkan.
Lantaran doa itulah maka ziarah menjelang Ramadan selalu ramai. Padahal, haram hukumnya orang ziarah dikubur. Ya, orang yang tengah berziarah memang tidak boleh dikubur. Kalau "orang ziarah di kubur" tentu saja tidak apa-apa. Malah sangat dibolehkan. Perhatikan antara "dikubur" dan "di kubur". Spasi sangat menentukan makna. Salah spasi, salah makna.
Bukan hanya itu. Sesungguhnya umat Islam dilarang mendoakan orang mati. Bahkan agama lain pun pasti melarang umatnya mendoakan orang mati. Alasannya sederhana. Jika mendoakan orang lain, doakanlah yang baik-baik saja.
Mendoakan orang jatuh sakit, terkena musibah, apalagi mati, termasuk doa yang tidak baik. Beda perkara jika kita mendoakan orang yang sudah mati supaya tenang "di sana", damai dalam dekap cinta-Nya, atau senantiasa sentosa di makamnya.
Dua maklumat di atas, tersaji di akun Twitter Muhammadiyah Garis Lucu, sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Saya sudah mendengar atau membacanya sejak masih anak-anak. Semacam guyonan yang membutuhkan ala kadar analisis agar tidak cepat tersulut, mencak-mencak, lalu menuding yang melontarkan guyon itu sebagai penista agama.
Nah, berikut saya sajikan enam fatwa nyeleneh ke hadapan Anda.
Yang aneh justru apabila mereka yang membawa ponsel harus dimatikan. Sedih, kan? Maksud hati ke masjid untuk beribadah malah nyawa terancam gara-gara gawai. Apabila tujuan maklumat adalah mematikan ponsel, kalimatnya mesti diperbaiki. Contoh: Harap matikan ponsel Anda.