Setiba di Batavia, Stolz mengurungkan niat untuk memajang patung Dewa Keberuntungan itu di tokonya. Malah ia pajang patung artistik itu di pekarangan rumahnya di bilangan Jatinegara (dulu Meester Cornelis). Jenny, istrinya, tidak menyukai patung tersebut.Â
Menurut Jenny, patung Juru Kabar itu terlihat cabul. Tak sedap dipandang mata, tak elok diperam benak.
Selisih paham antara istri dan suami tidak terelakkan. Sang istri ngeyel agar patung itu dijual atau dibuang saja, sang suami ngotot terus menyimpan putra kesebelas Dewa Zeus itu. Namun, Stolz lebih peduli pada si patung. Hingga Jenny wafat pada 1930 di Den Haag, patung Hermes masih berdiri telanjang di pekarangan rumah.
Setelah pujaan hatinya mangkat, Stolz nelangsa tiada terkira. Bahkan ia kehilangan semangat berdagang. Toko dan rumahnya ia jual. Akan tetapi, ia tidak menjual patung Hermes. Patung itu ia serahkan kepada Pemerintah Hindia Belanda sebagai ucapan terima kasih karena diizinkan berdagang di Batavia.
Stolz meninggal di Semarang.
Jembatan Harmoni di Masa Batavia
Pemerintah Hindia Belanda tengah getol mempercantik Batavia ketika Stolz menyerahkan patung Dewa Ketangkasan.Â
Pucuk dicinta, ulam yang tiba. Dewa Hermes diangkut dari pekarangan rumah Stolz ke Pusat Niaga Harmoni. Patung itu dipajang di mulut jembatan, di tepi sodetan Kali Ciliwung, menghadap ke jalan dan memunggungi kali.
Nasib sang patung aman di sana. Para saudagar di kawasan Harmoni tidak menganggap sang patung selaku pengumbar syahwat atau pemajang aurat. Malah mereka menganggap sang patung sebagai perlambang jembatan menuju keberuntungan.
Akhirnya Belanda pergi. Giliran Jepang yang mengangkangi Nusantara. Sang patung masih di mulut jembatan mendongak ke langit, tetap dalam keadaan telanjang, bahkan masih telanjang tatkala Jepang minggat, dan terus telanjang hingga Indonesia merdeka.
Replika Sang Dewa