--Amaliana Widya Utami
Kamu menabung luka di matamu. Aku tak menemukan jejak marah di senyummu, tetapi kecewa berderuk di desahmu. Pundakmu tulang keropos yang gampang dipatahkan nestapa. Atau diremukkan sengsara. Aku menyesal sekarang. Seharusnya dulu aku belajar tentang bahasa tubuh. Sekarang aku gagap mengeja remah tabah di matamu.
Aku menabuh tawa di telingamu. Kamu terkekeh, tetapi matamu berkaca-kaca. Tubuhmu daun kering yang mudah dilahap api. Atau dibusukkan tanah. Aku menyesal sekarang. Semestinya aku berhenti menyayat hatimu, sebab kutahu menyakiti bukan bagian dari mencintai. Kini aku gugup dan tidak tahu obat apa yang manjur mengobati lukamu.
Aku tegak di depanmu sebagai orang asing yang berusaha lesap ke matamu, lesak ke kedalamannya, dan mencabuti akar-akar luka di dalamnya. Kamu tegak di depanku sebagai perempuan yang pura-pura tabah, menolak air mata, dan buru-buru mengenakan topeng tegar. Aku menyesal sekarang, tetapi entah mengapa aku lupa cara meminta maaf.
Maret 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H