Fadli Zon baru saja menuai kritik. Alumnus jurusan Sastra Rusia UI yang sekarang duduk manis di Senayan sebagai wakil rakyat itu menganggit puisi. Judulnya "Doa yang Ditukar". Sederhana, tetapi nyelekit. Sederhana karena mirip judul sinetron, nyelekit karena beberapa pihak menengarai puisi tersebut menghujat Mbah Moen, seorang ulama karismatik.Â
Benarkah puisi tersebut menghujat ulama sepuh yang sangat dihormati umat? Pertanyaan itu sudah menggelitik benak saya tatkala membaca beberapa linikala sahabat di Twitter. Sebagai politikus, Wakil Ketua Umum Gerindra itu memang piawai memantik kontroversi. Beliau mahir menjadikan dirinya sebagai magnet pembicaraan. Ini patut diacungi jempol dalam perkara penjenamaan diri (personal branding).Â
Gara-gara seliweran kabar itu pulalah sehingga saya tergerak membaca dan menyelisik puisi beliau. Salah satu unsur puisi yang misterius dan berkelimun teka-teki adalah permainan simbol. Tiga kata yang digunakan Fadli Zon, selanjutnya saya sebut Zon (tanpa diakhiri konsonan /k/), sebenarnya dapat ditafsirkan sebagai simbol.
Pertanyaannya, simbol apa? Secara gamblang saya sebut sebagai simbol peristiwa. Belakangan ini Zon memang sedang keranjingan (sebenarnya saya lebih senang memilih diksi kegatelan) menganggit puisi. Apa saja yang tidak sesuai gagasan atau pandangan pribadinya maupun gengnya pasti digubahkan puisi.
Bertumpu pada kebiasaan Zon tersebut maka tidak bisa dimungkiri bahwa puisi terbarunya, dianggit pada 3 Februari 2019, jelas merupakan simbol peristiwa yang berkaitan dengan salah ucap doa Mbah Moen ketika duduk di sisi Pak Jokowi.
Mengapa saya berasumsi demikian? Jawaban saya sederhana. Tokoh yang salah ucap doa sebelum puisi tersebut digubah hanya Mbah Moen. Walau Zon berkelit sehebat apa pun, kelitnya hambar dan garing. Selain itu, belakangan ini sasaran puisi gubahan Zon selalu tertuju pada kubu lawan politiknya.
Dengan demikian, permainan simbol pada judul puisi sudah secara terang dan gamblang mengarah kepada sang kiai.
Telaah Nyeleneh Atas Puisi Zon
Sebagai politikus yang sudah melahirkan banyak kumpulan puisi, Zon bukan orang yang asing pada estetika. Dengan demikian, kita bisa menelaah puisinya. Dari mana bermula gagasan puisi itu? Ya, sekali lagi saya tedaskan, puisi itu bertumpu pada "kesadaran sepihak" Zon dalam memaknai peristiwa yang terjadi di sekitarnya.