Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

[Obituari Nukman Luthfie] Yang Meninggalkan, Yang Ditinggalkan

13 Januari 2019   10:05 Diperbarui: 13 Januari 2019   10:44 970
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pakar media sosial, Nukman Luthfie, berpulang ke pangkuan Ilahi. Kabar kepulangan beliau memenuhi linimasa media sosial.

Lelaki kelahiran Semarang, 24 September 1964, memang dikenal ramah, murah senyum, dan gemar berbagi ilmu. Tidak heran bila banyak yang berduka atas wafatnya beliau, bahkan ada yang terkinjat seakan-akan  tidak percaya.

Pada 6 Desember 2013 lalu, lelaki sederhana ini pernah mencuitkan kalimat yang menghunjam. "Orang baik, saat meninggal pun, banyak yang mendoakan," ungkap beliau melalui akun twitternya. 

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Semalam, Sabtu (12/1/2019) pukul 22.00 WIB, doa-doa dan ucapan belasungkawa mengalir tiada henti baginya.

Ya, orang baik memang akan banyak menuai doa ketika ia meninggal. Begitulah.

Pada setiap kematian niscaya ada dua pihak, yakni yang meninggalkan dan yang ditinggalkan. Yang mangkat meninggalkan dunia fana ini dan mengguratkan jejak-jejak kebaikan. Jasadnya akan tiada, lebur bersama tanah, tetapi jasanya terus hidup dan mengabadi. Yang ditinggalkan pasti tidak akan bertemu wujud fisik dari yang mangkat, tetapi selalu akan bersua dengan visi dari yang pergi.

Nukman, bagi banyak kalangan, memang sering jadi tumpuan informasi tentang dunia internet. Khususnya media sosial. Beliau tidak hanya ringan tangan dalam berbagi pengetahuan dan pengalaman, melainkan sekaligus jadi anutan dan panutan banyak orang dalam bermedia sosial.

Ada dua wejangan beliau yang sengaja saya catat lewat tulisan ini supaya kelak, ketika suatu waktu saya atau siapa saja membutuhkannya, dapat dengan mudah memetik dan meresapinya. 

Wejangan itu adalah warisan digital bagi anak-anaknya yang mungkin belum pernah sekali pun bertemu dengan beliau, tetapi berkali-kali berjumpa di dunia maya.

Pertama, tebarlah konten-konten positif. Inilah warisan berbentuk petuah yang patut kita camkan setiap jemari hendak menari di layar gawai. Semua yang kita hidangkan di akun media sosial bukan sekadar silir angin yang berembus lantas berlalu. Ada tapaknya, ada tilasnya.

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Di negeri yang tengah berkembang ini, media sosial menjadi saluran alir pikiran. Gagasan tercurah setiap saat, pendapat tertuang setiap waktu. Ada yang setia berbagi kebaikan, ada rajin berbagi kenyinyiran. Ada yang habis-habisan menyebar konten-konten positif, ada yang mati-matian menebar konten-konten negatif.

Dari situ kita dapat mengenang petuah Om Nukman. Kita petik buahnya, kita peras sarinya, dan kita alurkan ke sekujur tubuh bersama aliran darah. Sebagai warga dari negeri yang tengah berkembang ini, seyogianya kita tiada henti menabur kebaikan. Termasuk di media sosial. Tiada henti, laksana Om Nukman yang terus-menerus menebar kebaikan hingga beliau mangkat.

Media sosial, apa pun namanya, sejatinya adalah tempat yang asyik bagi kita untuk membela negara. Tentu banyak cara yang dapat kita lakukan. Menghujat boleh, selama bertumpu pada hasrat besar bagi kemajuan bangsa. Menggugat boleh, selama beranjak dari gairah akbar demi kemakmuran bangsa.

Inilah warisan Om Nukman bagi kita semua, anak-anaknya, yang telah mendarahdagingkan media sosial dalam hidup sehari-hari: Salah satu wujud bela negara yang paling mudah, tetapi tidak sepele, adalah membanjiri media sosial dengan hal positif.

Bagi kita yang ditinggalkan, warisan itu mesti lekat dalam ingatan, rekat pada perilaku, serta erat di dalam tabiat bermedia sosial. Beliau boleh pergi, tetapi kehadirannya selalu terasa. Kematian hanya memindahkan jasad beliau ke alam yang berbeda dengan kita. Namun, kematian tidak pernah memisahkan gagasan-gagasan baik beliau dari kita yang ditinggalkan.

Kedua, gunakanlah media sosial dengan arif. Menyakiti itu mudah, menyembuhkan itu susah. Tidak ada yang bisa menyaring apa saja yang hendak kita bagikan di linikala selain diri kita sendiri. Tidak ada yang sanggup menahan semburan kata yang akan kita sebarkan di linimasa kecuali diri kita sendiri. Maka, kitalah penguasa yang berkuasa atas akun media sosial kita.

Berkenaan dengan hal tersebut, media sosial sejatinya merupakan cerminan diri kita, wujud kepribadian kita, atau fakta lamat-lamat dari perangai kita. Yang gemar mencaci akan terpantul dari permukaan cermin sebagai pencaci. Yang gemar memaki akan terpajang di permukaan cermin sebagai pemaki. 

Pendek kata, kita leluasa memilih hendak menjadi apa.

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Di sinilah pentingnya warisan Om Nukman kita jadikan sebagai azimat batin. 

Media sosial itu jendela kecil untuk menafsir siapa kita, rawatlah demi masa depan yang lebih baik. Ya, petuah itu perlu kita resapi dan resahi. Kita resapi agar menjadi fondasi, kita resahi agar menjadi cermin.

Bagaimanakah tabiat kita, selama ini, dalam bermedia sosial? Apa saja yang sudah kita perlihatkan kepada penghuni jagat digital lain melalui jendela kecil yang kita biarkan tersingkap? Adakah tafsir baik yang berkelindan di benak orang-orang?

Sekali lagi, kitalah penguasa di akun media sosial kita. Malahan penguasa tunggal. Penduduk media sosial yang lain boleh saja menapis, menyaring, atau bahkan membuang hal-hal buruk yang kita sebar. Namun, jejak yang kita tinggalkan sulit hilang sekalipun sekalimat umpatan telah kita hapus dari linikala.

Hanya jendela kecil, bukan jendela besar. Hanya saja, orang-orang memang mengintip justru dari celah yang kecil. Jikalau melalui ruang besar tentu bukan mengintip namanya, melainkan melongok. Kenapa orang-orang mengintip di jendela kecil kita? Sebab, akun medsos memang ruang terbuka yang dapat dilihat semua orang. Persis seperti menjemur celana dalam di halaman rumah, setiap yang lewat dapat leluasa melihatnya.

Dua warisan beliau itu merupakan oleh-oleh sakral bagi kita yang ditinggalkan.
Sebagaimana lazimnya apabila ada yang pergi di sekitar kita, entah merantau entau sementara, kita sering membekalinya dengan cendera mata. 

Sekarang, apa oleh-oleh yang bisa kita berikan atas kepergian Om Nukman? Sederhana saja, mewujudkan wejangan yang beliau wariskan. Tentu pula, memanjatkan rupa-rupa doa bagi beliau.

Kita, anak-anak beliau yang masih hidup, kian hanyut dalam kemajuan zaman dan peradaban. Kita tentu tidak ingin ketinggalan zaman, tetapi kita juga semestinya tidak meninggalkan adab. Dua azimat yang beliau wariskan hendaknya tidak berhenti sebagai penghias muka media sosial saja, tetapi sebaiknya terus mewarnai geliat kita sehari-hari.

Hanya dengan begitu kita dapat tidur nyenyak. Setelah terbangun, seperti yang pernah diujarkan oleh Om Nukman, kita akan menerima hadiah terindah. Apakah itu? Hadiah terindah dari tidur adalah bangun dengan semangat hidup yang lebih baik dari hari sebelumnya.

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi
Akan tetapi, apakah kita akan meninggalkan hadiah terindah dari hidup kita yang sementara ini bagi siapa pun yang kelak akan kita tinggalkan? Entahlah. Saya sendiri masih ragu hal apa yang nanti akan saya tinggalkan. Malah, barangkali tidak ada secuil pun kebaikan.

Adakah kita akan menjadi orang baik, seperti tutur Om Nukman, sehingga kelak akan didoakan orang-orang saat meninggal? Entahlah. Hanya Tuhan dan netizen yang tahu. Yang perlu kita lakukan, sekurang-kurangnya, adalah menggunakan media sosial dengaan arif dan bijak. Itu saja dulu. Selebihnya, biarkan waktu yang berbicara.

Pada akhirnya, melalui goresan sederhana ini, saya mengucapkan selamat jalan kepada Bapak Media Sosial Indonesia. Semoga segala-gala yang telah beliau wariskan berbuah kebaikan. 

Selamat jalan, Om Nukman. Damailah dalam dekap cinta-Nya. []

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun