Sengketa keluarga itu lumrah terjadi. Perseteruan antara kakak dan adik merupakan hal biasa, apalagi jenis kelamin sama dan rentang usia tidak jauh berbeda.
Saya pernah mengalaminya. Kakak saya, Muhammad Saleh Yadli, mbrojol empat tahun lebih cepat dari saya. Meski begitu, kami bersaing keras dalam perkara sepak bola. Doi striker, saya kiper. Setiap penalti doi ke gawang saya gagal, saya pasti jingkrak-jingkrak. Doi pendukung Real Madrid, saya penggemar Barca. Pendek kata, tidak boleh sama.
Namun, saya tidak akan bercerita soal persaingan penuh cinta dalam keluarga kami. "Sengketa keluarga" yang ingin saya tuturkan kepada kalian, sekarang, terjadi di istana. Ini sengketa besar karena melibatkan keluarga Presiden Jokowi. Tidak heran bila sengketa ini disorot netizen.
Sungguhpun sengketa seperti ini lumrah terjadi, namun kasus di istana ajaib bin lucu. Bukan seteru kakak dan adik, melainkan antara paman dan kemenakan. Ya, sengketa ini melibatkan Kaesang Pangarep (putra bungsu Pak Jokowi) dengan Jan Ethes Srinarendra (cucu pertama Pak Jokowi).
Titik pangkalnya pasti mudah ditebak. Kaesang cemburu. Saya tidak bercanda atau mendramatisasi sengketa. Ini benar-benar terjadi. Ketika kehadiran Jan Ethes menggusur posisi sang paman, Kaesang merasa tersingkir. Hanya merasa. Akan tetapi, bukankah cemburu memang bermain di wilayah perasaan?
Mulanya begini. Kemarin (Minggu, 21/10/2018), Pak Jokowi menghadiri Apel Akbar Santri Nusantara di Solo. Alih-alih mengajak si bungsu, Pak Presiden membawa si cucu. Tagar #Jokowibersamacucu sontak seliweran di Twitter. Gara-garanya sepele. Pak Presiden pamer kemesraan bersama Ethes di Twitter. Cuitan RI-1 itu terbukti tokcer menyulut arang cemburu di hati si bungsu.
Pak Jokowi bagai mengipas-ngipas api dalam sekam. Kaesang segera menggerunyam di Twitter.Â
Ini kayaknya momen ketika Jan Ethes masih terlalu bayi dan belum bisa diajak main.
Kurang lebih begitu bunyi twit Kaesang. Saya sebut kurang lebih sebab penulisannya saya sesuaikan dengan kaidah EBI.
Jelas terdengar nada cemburu berbunyi pada cuitan itu. Kaesang ingin mengabarkan kepada hatinya bahwa, sebelum Jan Ethes sedemikian imut buat diajak main, Pak Jokowi lebih sering bersama dirinya dibanding ponakannya. Dengan kata lain, ia merasa disingkirkan. Politik Cinta dalam keluarga Pak Presiden telah memakan korban.
Tidak berselang lama, cuitan Kaesang segera disambar netizen.Â
Ada yang mempertanyakan mengapa tukang goreng pisang sebegitu dekat dengan Pak Jokowi, ada yang memuji kedekatan Pak Jokowi dengan Paspampres (badan Kaesang kekar sehingga disangka centeng), ada pula yang menuduh Kaesang sok akrab dengan "orang nomor satu di Indonesia".
Namun, ada satu cuit yang sangat menggelikan.Â
Fatwa "mahabenar netizen dengan segala pendapatnya" sungguh-sungguh tersaji. Seorang netizen, @43sthetic, mengunggah hasil pencarian data keluarga Pak Presiden. Syahdan, anak Pak Presiden cuma dua. Hanya Gibran (ayah Jan Ethes) dan Kahiyang (ibu Sirah Midah). Cuitan itu moncer banget. Twitter pun gaduh.
Tentu tidak. Itu guyonan warganet saja. Ia memang anak bungsu pasangan Pak Jokowi dan Ibu Iriana. Itu fakta, bukan hoaks. Walau begitu, ledekan bertubi-tubi datang tiada henti. Kaesang, yang belajar menubuhkan tabah dan menabahkan tubuh, kontan jadi bulan-bulanan warganet.
Politik keluarga istana segera disantap netizen. Intrik paman dan ponakan akhirnya dikonsumsi khalayak.
Tunggu sebentar. Jangan bayangkan kalian akan bebas merdeka merisak anak Pak Presiden andai itu terjadi 40 tahun lalu. Itu perbandingan yang tidak setara. Dulu belum ada Twitter. Kalaupun ada, para perisak akan ngeri meledek anak Pak Harto. Puluhan tahun lalu, merundung anak Presiden berarti cari mati. Modar nanti.
Jan Ethes yang imut dan menggemaskan sebenarnya tidak tahu apa-apa. Kaesang juga tidak bersalah apa-apa. Netizen yang menuding Kaesang dengan macam-macam ejekan juga tidak salah. Intrik tersebut justru memicu kedekatan antara keluarga istana dengan khalayak. Dampaknya, seperti yang saya alami, perut dan ketek saya seperti digitik-gitik. Geli sekali.
Perut saya terasa kian dikocok rasa geli ketika Gibran turun gunung membela anaknya. Biasa, lazim kok orangtua membela anak. Si Sulung tidak berkata apa-apa. Ia hanya mengirim gambar buat adiknya. Satu gambar, yang ada Kaesang di dalamnya, ia sebut hoaks. Adapun gambar tanpa Kaesang ia sebut asli.
Kamu kakak macam apa.
Jawaban Kaesang yang sungguh sengit itu seketika disambar netizen. Saya cengar-cengir mengulir layar gawai. Komentar warganet sungguh menyenangkan dan menegangkan.
Ada yang cemas rumahnya didatangi Paspampres--yang menyamar sebagai tukang nasi goreng dengan gerobak bakso dan radio panggil. Ada yang lagi-lagi menuduh Kaesang sebagai pengawal yang menyamar jadi anak presiden. Pendek kata: edan!
Perseteruan keluarga istana itu ternyata ampuh mengalihkan perhatian netizen dari ingar-bingar politik. Linikala yang panas akibat "percik api dari dua kubu" tiba-tiba adem dan menenangkan. Netizen, terutama generasi milenial, seperti besi dipikat magnet. Mereka ramai-ramai memanfaatkan momentum intim dengan anak presiden.
Bagi kubu petahana, humor segar ala Kaesang sangat menguntungkan. Publik merasa tidak berjarak dengan keluarga Pak Jokowi. Lagi pula, dua putra Pak Jokowi memang rakyat biasa. Satu tukang martabak, satu lagi tukang dagang pisang. Keintiman itu akan memengaruhi alam bawah sadar netizen. Mereka akan condong memilih yang terasa dekat, lewat figur Kaesang dan Jan Ethes.
Bagi kubu sebelah, tentu ini kabar tidak menyenangkan. Setengah mati mereka sasar anak-anak muda, ternyata Kaesang dan Jan Ethes lebih memesona. Mereka harus memeras otak untuk menangkal kampanye klandestin ala Kaesang. Harus dilawan. Jika tidak, bahaya.
Masalah besar di kubu sebelah adalah kendornya selera humor. Kampanye Fadli Zon lewat Potong Bebek Angsa malah menuai cibiran. Citra gaul ala Sandiaga, dengan kritik model guyon seperti ATM setipis tempe, justru memicu gaduh tak mengenakkan. Humor kubu sebelah cenderung garing. Kurang kekinian. Beda dengan humor ala Kaesang. Segar dan menyegarkan.
Generasi milenial, yang terang-terangan dijadikan target kampanye oleh kedua kubu, bisa-bisa condong ke kubu petahana. Sebaiknya kubu sebelah mengkaji strategi humor baru. Jangan begitu-begitu saja. Bagaimana caranya? Ya, itu urusan timses Pak Prabowo. Andaikan hari ini kita masuk ke bilik suara, besar kemungkinan sebagian kaum muda memilih paslon nomor satu.Â
Bagaimanapun, memilih Keluarga Cemara lebih mengasyikkan dibanding Keluarga Cemarah (cedikit-cedikit marah). []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H